Thursday, July 16, 2009

Berebut Pasar Yang Masih Besar




Dibandingkan dengan Malaysia, Thailand atau Singapura, penetrasi pasar elektronik di Indonesia jauh tertinggal. Padahal dari potensi bisnis, Indonesia hanya kalah dari dua negara besar Asia lainnya, yakni China dan India. Meski pertumbuhan pasar tidak secepat negara tetangga, semua vendor elektronik sepakat bahwa pasar Indonesia masih menjanjikan setidaknya dalam lima tahun ke depan.

Selain problem geografis dan rendahnya daya beli, masalah lain yang menyebabkan kecilnya penetrasi pasar elektronik adalah masih sedikitnya keberadaan peritel elektronik modern. Sebagai perbandingan, di tiga negara itu, 70%-80% pasar ritel elektronik dikuasai oleh peritel modern. Di Indonesia, kondisinya masih terbalik. 30% peritel modern, sementara 70% market share dipegang pemain tradisional. Itu sebabnya, guna memperluas pasar, belakangan peritel modern semakin bertambah, baik dari sisi pemain maupun gerai yang dimiliki.

Kue bisnis elektronik di Indonesia memang menggiurkan. Merujuk pada data EMC (Electronic Marketer Club), pertumbuhan pasar elektronik Indonesia rata-rata mencapai 20% - 25% per tahun. Pada 2007 lalu, kapitalisasinya sebesar Rp 15 trilyun. Kemudian melonjak menjadi Rp 18,1 trilyun pada 2008. Sementara diakhir kuartal pertama 2009, total penjualan elektronik sudah naik 4% menjadi Rp 4,38 trilyun dibanding periode yang sama 2008 (year on year) senilai Rp 4,20 trilyun.

Meski situasi ekonomi belum kondusif karena imbas krisis finansial global, kondisi itu tidak menyurutkan para pemain untuk terus berekspansi. Para peritel modern tampaknya berambisi untuk menggeser pemain tradisional. Setidaknya komposisi 50 : 50 dapat tercapai dalam beberapa tahun mendatang.

Sebelumnya masyarakat mengenal Agis sebagai gerai elektronik modern. Sebagai incumbent, kehadiran Agis (1997) dan kemudian disusul oleh Elektronic City (1991) langsung mengubah peta persaingan. Lewat berbagai keunggulan, baik dari sisi kenyamanan berbelanja maupun fasilitas penunjang lainnya termasuk jaminan purna jual, masyarakat yang tinggal diperkotaan dan kelompok menengah atas, dengan cepat mengubah gaya belanja mereka. Pelan tapi pasti, Glodok dan Mangga Dua yang sebelumnya menjadi episentrum ritel elektronik nasional, mulai kehilangan pamor.

Datangnya raksasa baru, seperti Electronic Solution (ES) asal Singapura dan Best Denki dari Jepang pada 2006 lalu, semakin mengubah iklim kompetisi. Apalagi hanya dalam tempo beberapa tahun, gerai keduanya makin meluas ke berbagai kota besar di Indonesia.

Dari perbincangan saya dengan GM Operation ES Daniel Trisno, kedepan persaingan antar ritel elektronik modern juga akan semakin ketat. Utamanya karena penerapan strategi yang mirip-mirip. Ia menilai tantangannya bukan lagi terletak pada produk, namun pada strategi perusahaan dalam memanjakan pelanggan sekaligus menekan harga sekompetitif mungkin. Itu sebabnya Daniel menyakini bahwa hanya perusahaan yang mampu menekan cost sekecil mungkin yang akan tetap survive di bisnis yang menekankan pada volume ini.

No comments: