Tuesday, June 30, 2009

Komunitas, Pasar Yang Tak Ada Habisnya


Bagi perusahaan, keberadaan komunitas tak lagi dipandang sebelah mata. Lihat saja strategi yang dilakukan Astra Honda Motor (AHM). Untuk mempopulerkan Honda CS-1, AHM meluncurkan program “Convoy Seru Honda CS-1”. Lewat event yang mulai digelar Mei lalu, peserta bersama 9 orang teman sekantor bisa makan siang ramai-ramai secara gratis sekaligus konvoi dan menjajal kehebatan Honda CS-1,

Dalam program itu, AHM memang melakukan aksi jemput bola. Setelah proses registrasi, tim AHM akan menghubungi para peserta yang terpilih. Di hari dan tempat yang sudah disepakati, peserta bakal dijemput oleh tim dari Honda. Mereka bisa langsung mencoba Honda CS-1 untuk konvoi bareng dan menikmati jalanan perkotaan menuju ke restoran favorit buat makan siang bersama-sama. Setelah kenyang, bareng-bareng lagi konvoi naik Honda CS-1 untuk kembali ke tempat awal bertemu.

Dari diskusi saya dengan Direktur Marketing AHM Julius Aslan, program konvoi dengan CS1 ditujukan untuk memberikan pengalaman kepada para calon konsumen. Mengingat CS1 merupakan salah satu varian baru di segmen bebek sport.

Program jemput bola juga dilakukan oleh Poligon. Dibandingkan dengan produsen sepeda lain, Poligon dikenal paling getol dalam menggarap komunitas. Lewat kampanye “Bersepeda Lebih Asyik Beramai-Ramai”, Polygon secara serius membangun komunitas pelanggannya sejak tahun 2004.

Alhasil, anggota formalnya kini mencapai 10 ribuan dan selama setahun setidaknya lebih dari 52 kali ia menyeponsori kegiatan bersepada. Itu artinya tiap minggu Polygon menggelar acara sepeda sehat.

Orientasi Polygon yang menyikapi konsumen sebagai member terlihat betul dari upayanya memasilitasi kegiatan para membernya. Upaya itu bermacam-macam bentuknya: dari kegiatan gathering, mensponsori beragam kegiatan lomba bersepeda; memberikan dukungan acara bersepeda berupa uang, barang-barang pendukung event, merchandise, dan sebagainya.

Lain lagi cara Starbucks dalam mengapresiasi pelanggannya. Jaringan kedai kopi asal AS itu, membuat sebuah blog: My Starbucks Idea. Di blog ini siapapun pelanggan boleh menyumbang ide, memberikan vote kepada ide dari para pelanggan lain; berdiskusi dengan orang dalam Starbucks maupun pelanggan lain mengenai ide yang diusulkan; dan tentu mereka berhak “menagih janji” kepada Starbucks atas diimplementasikannya ide-ide yang sudah mereka usulkan.

Apa yang dilakukan Honda, Poligon dan Starbucks adalah upaya membangun ”moment of truth” yang merupakan pintu masuk untuk mengambil heart pelanggan. Lewat kekuatan “word of mouth”, strategi yang dilakukan ketiganya akan berdampak pada semakin loyalnya komunitas yang dituju. Nah, dalam situasi pasar yang melesu karena hantaman krisis, menggarap komunitas mungkin sudah seharusnya menjadi prioritas perusahaan. Bila berhasil, ibaratnya sekali tepuk, produsen akan mampu menggaet tak cuma satu, tapi puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Apalagi biaya akuisisinya, juga tak semahal seperti menggarap mass market. Namun agar tak salah langkah, perusahaan harus menjadi bagian dari komunitas itu. Dengan begitu ia bisa menyelami sekaligus men-deliver apa yang menjadi kebutuhan mereka.



Belanja Sekarang Juga!




Ada yang tak biasa di kawasan Cibubur pada akhir pekan lalu. Ribuan orang memadati Cibubur Juntion (CJ). Meski harus antre hingga dini hari, pengunjung tetap bersemangat untuk shooping. Apa pasal? Rupanya pusat perbelanjaan milik Grup Lippo itu menggelar program midnight sale. Lewat program itu, CJ meminta para tenant untuk mendiskon produk-produk yang mereka jajakan, hingga 80%.

Beragam produk dari fashion, akesoris, hingga elektronik dijual sangat terjangkau. Kondisi ini jelas memunculkan ephoria konsumen, yang umumnya sangat bernafsu shopping, apalagi bila ada program promosi khusus. Tak peduli, meski waktu promo digelar tengah malam.

Kondisi nyaris serupa juga terjadi pada saat grand opening gerai Electroic Solution (ES) di Pejaten Village kamis pekan lalu. Lewat berbagai program menarik, seperti time sale dan hot sale, bermacam produk elektronik dari kulkas, mesin cuci, vaccum cleaner, gadget hingga TV LCD dilego dengan harga super miring. Kemudahan transaksi dengan kartu kredit, plus diskon tambahan yang hanya berlaku pada hari itu, juga semakin memacu konsumen untuk segera berbelanja. Alhasil, hingga sore hari, ratusan orang masih memadati gerai ES di pusat perbelanjaan itu.

Sebelumnya fenomena sejenis juga sudah kita saksikan, saat sepatu gaul Crox, dilego dengan harga terjangkau pada event end of seasons yang digelar pusat perbelanjaan Senayan City, April lalu. Saat itu ratusan orang yang datang dari berbagai penjuru membentuk antrian panjang. Dibenak mereka hanya satu, bagaimana bisa secepatnya membawa pulang sepatu Crox yang terkenal dengan desain yang unik, warna-warna yang berani namun enak dipakai, pada hari itu juga! Tak mengapa capai antri, karena dijamin besok tak ada lagi promosi sejenis.

Hari itu juga! Rupanya menjadi salah satu mantra tambahan dalam industri retail selain murah, iming-iming produk berkualitas, diskon tambahan atau hadiah langsung yang selama ini kita kenal. Trik ini jelas bertujuan agar konsumen tidak sekedar cuci mata, namun mau mengeluarkan isi dompet saat itu juga.

Nah, pada kasus ES, CJ, atau sepatu Crox, nafsu berbelanja atau shopalholic konsumen, mampu dipompa sedemikian rupa sehingga mereka tidak mau melepaskan kesempatan untuk mengejar barang yang diincar. Meski harus datang dari jauh sekali pun.

Pengalaman ketiganya juga sekaligus menjawab pertanyaan penting yang selama ini sering mengemuka. Yakni, sering kali orang atau perusahaan sudah mampu memberikan penawaran yang begitu menarik, namun terkadang tidak tahu bagaimana caranya agar calon konsumen yang datang mau membeli saat itu juga. Karena jika seseorang tidak membeli saat itu juga, ada kemungkinan mereka akan menunda- nunda dan akhirnya tidak membeli. Malah bisa jadi ia akan membeli produk kompetitor.

Pemberian batas waktu pembelian merupakan salah satu cara supaya orang mau memutuskan pembelian dengan lebih cepat. Tambahan benefit yang lebih besar juga akan semakin mendorong konsumen mau merogoh kocek atau menggesek kartu kreditnya. Nah, sudahkah Anda menerapkan trik sederhana ini?

The Business of Business is Business



Krisis ekonomi yang berawal dari kejatuhan lembaga-lembaga keuangan di AS, telah menyeret negara-negara lain dalam resesi. Selain harga saham yang berjatuhan dan nilai mata uang yang merosot tajam, krisis juga telah meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan.


Disisi lain, beban kerugian menyebabkan banyak perusahaan yang collapse. Sebagian berusaha bertahan, meski harus berhemat. Sebagian lagi bahkan terpaksa mengajukan permintaan pinjaman kepada pemerintah demi mempertahankan kelangsungan usaha.

Dalam situasi sulit, tentu langkah-langkah efisiensi menjadi obat mujarab.


Sayangnya pada situasi ini, corporate social responsibility (CSR) seringkali menjadi prioritas dalam agenda pemotongan anggaran. Para CEO dan manajer perusahaan biasanya mempertanyakan mengapa harus mengeluarkan sumber daya baik waktu, uang dan tenaga untuk CSR. Sementara perusahaan dihadapkan pada berbagai kondisi jangka pendek yang lebih mendesak.


Karena bukan merupakan core business dan strategic planning, masa depan CSR di

Indonesia sangat mudah terimbas krisis. Selain masih lemahnya standar audit dan pelaporan CSR, kondisi diperparah karena belum terbitnya PP yang dapat menjadi panduan UU tentang CSR (UU No. 4/2007, UU Penanaman Modal No. 25, UU BUMN No. 19/2003). Alhasil, situasi itu memberikan ruang yang nyaman bagi perusahaan untuk memperlakukan CSR hanya sebagai “aksesori” atau “lip service” semata.


Beberapa perusahaan dan asosiasi bahkan berusaha menggoyang UU CSR dengan melakukan uji materi. Mereka antara lain adalah Kadin Indonesia, Hipmi, Iwapi, PT Lili Panma, PT Apac Centra Centertex Tbk, serta PT Kreasi Tiga Pilar.


Para pemohon menilai kewajiban CSR telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di muka hukum, karena perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam sudah menjalankan kewajibannya berdasarkan UU sektoral, masih diwajibkan untuk menganggarkan CSR.


Namun Mahkamah Konstitusi (MK) pada April lalu, menolak permohonan uji materi itu. Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat CSR tetap menjadi kewajiban bagi dunia usaha. Penormaan CSR sebagai kewajiban hukum, merupakan suatu kebijakan hukum (legal policy) pembentuk UU untuk mengatur dan menerapkan CSR dengan suatu sanksi.


Hal itu, menurut MK, dilandasi adanya kondisi sosial dan lingkungan yang rusak pada masa lalu akibat praktik perusahaan yang mengabaikan aspek sosial dan lingkungan, sehingga mengakibatkan kerugian bagi masyarakat sekitar dan lingkungan pada umumnya.


Terlepas dari keputusan MK, krisis sejatinya merupakan ”ujian” terhadap komitmen perusahaan yang menjalankan CSR. Karena CSR hanya akan bertahan jika ia menjadi bagian dari DNA organisasi. Perusahaan yang sejak semula menjalankan CSR ”seadanya”, akhirnya memang lebih terfokus pada mencari keuntungan ekonomi belaka. Kelompok pengusaha seperti itu, tampaknya memegang teguh kredo dari Milton Friedman : ”The Business of Business is Business”. Tragis!



Monday, June 29, 2009

Yes TV Darah Baru Telkomvision




Pemandangan parabola mini yang menghiasi atap rumah, kini bukan lagi monopoli perumahan elit. Di berbagai kompleks perumahan kelas menengah bawah, berbagai jenis parabola milik Telkomvision, Indovision, FirstMedia atau operator TV berbayar lainnya semakin menjamur. Adakah hal ini mengindikasikan pergeseran pola baru masyarakat dalam menikmati hiburan?

Dari perbincangan saya dengan Direktur Utama Telkomvision Rahadi Arsyad, terungkap bahw dalam beberapa tahun terakhir masyarakat memang semakin gandrung dengan tayangan TV berbayar. Menurut pria good looking ini, harga berlangganan yang semakin terjangkau, kualitas tayangan yang jernih, ditambah dengan berbagai variasi tayangan yang lengkap, mulai dari hiburan, olahraga, ilmu pengetahuan, dan edukasi, membuat pamor TV berbayar semakin meningkat, sehingga segmen pelanggan pun meluas ke menengah bawah. Alhasil, pelan tapi pasti, masyarakat yang sebelumnya sudah terbiasa menonton tayangan TV tanpa bayar meski dijejali iklan, mulai melirik tayangan TV berbayar yang saat ini memang tengah gencar berpromosi.

Lihat saja langkah yang dilakukan Telkomvision. Operator TV berbayar yang sahamnya sepenuhnya dimiliki oleh PT Telkom Tbk ini, pada awal April lalu meluncurkan Yes TV. Untuk menarik calon pelanggan, Yes TV membuat berbagai gebrakan, yakni perangkat yang dipinjamkan serta alternatif sistem berlangganan yang sangat fleksibel. Pelanggan dapat memilih post-paid atawa pre-paid.

Rahadi bilang, model pre-paid merupakan sistem berlangganan terbaru yang diperkenalkan oleh operator TV berbayar di Indonesia. Guna menjangkau kelas menengah, harga berlangganan dipatok bervariasi. Dengan model voucher, pelanggan tinggal menyesuaikan budget dengan pilihan tontonan yang ingin dinikmati. Mulai dari yang paling murah seharga Rp 65.000,- sampai paket yang termahal Rp 300.000,- per bulan plus decoder dipinjamkan.

Rahadi optimis kehadiran Yes TV diharapkan dapat menggenjot target pelanggan Telkomvision yang saat ini baru berkisar 228.000 pelanggan. Ia sendiri mematok target pada akhir 2009, total pelanggan Yest TV sudah mencapai 350.000 pelanggan.

Kehadiran Yes TV sontak membuat persaingan antar TV berbayar menjadi semakin seru. Sebelumnya, untuk mempertahankan domininasi pasar, Indovision meluncurkan dua jaringan TV berbayar secara sekaligus, yakni Oke TV dan Top TV. Pelanggan dapat memilih paket termurah yang dapat ditebus dengan harga Rp 85.000 per bulan.

Potensi bisnis televisi berbayar memang cukup besar. Saat ini dari 45 juta orang pemilik televisi, pelanggan televisi berbayar baru sekitar 2 persen atau sekitar 900.000 orang. Pasar pun semakin terbuka lebar, karena Astro TV yang sudah ’karam’ tersandung kasus BPL (Barclays Premiere League) meninggalkan sekitar 300 ribu pelanggan.

Alhasil, persaingan antar operator TV berbayar dipastikan mulai sengit. Bila dua tahun lalu, Astro menjadi penantang serius Indovision, tahun ini Telkomvision berusaha menggoyang dominasi pasar.

Untuk mencapai target tersebut, Rahadi menyebutkan bahwa pihaknya akan menyiapkan sejumlah strategi, termasuk dari sisi content yang lebih menarik. Telkomvision juga berminat memperoleh lisensi BPL yang mulai ditenderkan untuk musim kompetisi 2009/2010. Sebelumnya untuk tayangan sepakbola, Telkomvision merupakan saluran resmi liga Italia atau yang lebih dikenal dengan Seri A untuk musim kompetisi 2008/2009, yang sudah berakhir.

Strategi joint promo, terutama dengan PT Telkom sebagai perusahaan induk juga akan digeber Telkomvision. Program bundling dengan kartu Fleksi atau Speedy, akan menjadi senjata ampuh untuk menggaet lebih banyak pelanggan.

Terkait dengan langkah Telkom untuk menggelar layanan IPTV secara komersial, Rahadi juga optimis bahwa layanan tersebut dapat mendongkrak kinerja Telkomvision. Seperti diketahui, PT Telkom akan mengembangkan layanan televisi kabel berbasis Internet Protocol Televisi (IPTV) bekerja sama dengan PCCW, perusahaan telekomunikasi berbasis di Hongkong. Nota kesepahaman antar kedua perusahaan sudah ditandatangani pada September tahun lalu. Pembangunan layanan yang memadukan jaringan kabel telepon milik Telkom dan satelit itu akan dilakukan melalui anak perusahaan, yaitu Telkomvision. Nah, dengan IPTV layanan Telkomvision akan menjadi lebih luas, yaitu memberi layanan berbasis kabel optik dan satelit sekaligus. Nantinya, inilah yang akan membedakan Telkomvision dengan operator TV berbayar lainnya.

Friday, June 26, 2009

Aksi Produsen Lucky Strike



Akuisisi produsen Lucky Strike, BAT atas Bentoel, mencengangkan banyak pihak. Selain Bentoel tak dalam kondisi merugi, aksi itu langsung menempatkan BAT sebagai pengendali dengan 85% saham. Apalagi duit yang digelontorkan mencapai US$ 494 juta. Harga itu setara Rp 873 per lembar saham, dengan premi sebesar 20 persen diatas harga penutupan Bentoel sebesar Rp 730 per lembar saham pada 15 Juni 2009.

Meski harus mengeluarkan dana besar, BAT yakin akuisisi akan mempercepat langkah mereka menjadi pemain nomor wahid di Indonesia. Apalagi prospek bisnis rokok di Indonesia terbilang cerah. Tahun lalu, total produksi rokok mencapai 247 miliar batang. Sementara jumlah perokok diperkirakan mencapai 65 juta orang atau 28 % dari total penduduk. Angka itu menempatkan Indonesia sebagai negara konsumen rokok terbesar ketiga di dunia, setelah China dan India.

Pencaplokan Bentoel, tak pelak mengingatkan aksi sejenis yang dilakukan Phillips Moris Indonesia (PMI) atas Sampoerna pada 2005. Saat itu Sampoerna, bersedia menjual 40% saham dengan nilai sangat tinggi, yakni Rp 18 triliun dengan nilai saham per lembar Rp 10.600 untuk 1.753 juta lembar saham. Lebih mahal 20% dari harga Sampoerna di bursa, yakni Rp 8.850.


Kini empat tahun berselang, Sampoerna yang sebelumnya merupakan produsen rokok nomor tiga, sukses merengkuh posisi market leader. Tengok saja, pada triwulan pertama 2009, pangsa pasar Sampoerna mencapai 24,3%. Posisi Sampoerna dibuntuti ketat oleh Gudang Garam 21,1%, Djarum 19,4%, Nojorono 6,7%, Bentoel 6%, PMI 4,7%, BAT Indonesia 2% dan merek lain-lain 15,8%.


Mengapa asing terus mencaplok perusahaan rokok kita? Pastinya karena pasar rokok di negara-negara maju menyempit karena gencarnya berbagai kampanye dan pembatasan area publik merokok.


Alasan lain adalah kecilnya peluang rokok kretek asal Indonesia menembus pasar AS atau Uni Eropa. Mengingat di negara itu berlaku Undang-Undang Tembakau yang antara lain melarang penjualan rokok dengan aroma, baik mint atau cengkeh yang menjadi cita rasa rokok kretek.


Disisi lain, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia-Pasifik yang tak menandatangani "Framework Convention on Tobacco Control" (FCTC) atau konvensi pengendalian tembakau yang telah ditandatangani 160 negara.

Konvensi itu mewajibkan suatu negara membatasi dan mengurangi produksi rokok, menghapus iklan rokok, menyertakan gambar peringatan pada setiap bungkus rokok, melarang penjualan rokok secara eceran, melarang anak-anak membeli rokok, menaikkan pajak rokok dan menerapkan kawasan bebas rokok.
Sementara satu-satunya kebijakan yang diterapkan Indonesia, baru sebatas tulisan peringatan saja.


Tak pelak, dengan berbagai kondisi yang ’menyejukkan’ itu, Indonesia menjadi surga produsen rokok. Apalagi tarif cukai Indonesia terendah di dunia, hanya 35%. Sementara umumnya negara-negara lain sudah menerapkan tarif cukai lebih dari 50%. UU PT juga membolehkan asing menguasai hingga100% kepemilikan saham perusahaan rokok. Itulah yang menjadi daya tarik asing memperluas pasar rokok di Indonesia.

Thursday, June 25, 2009

Belajar Dari Acer dan Nexian



Ribuan orang memadati dua pameran akbar yang digelar di JCC awal Juni lalu, Indonesia Celluler Show (ICS) dan Festival Komputer Indonesia (FKI) 2009. Dari kedua event itu, saya melihat ada dua catatan menarik yang mencerminkan jelinya vendor dalam merebut peluang pasar.


Catatan pertama adalah mengenai kiprah Nexian. Vendor asal China ini, langsung membuat gebrakan. Apa pasal? Konsumen yang mengular rupanya rela antri untuk mendapatkan ponsel pintar Nexian NX-G900. Mereka jelas terpengaruh oleh sihir NX-G900, yang disebut-sebut menawarkan kemudahan akses internet. Saking polulernya, gadget ini diplesetkan dengan nama 'NexianBerry'.


Alasannya, ya tentu karena perangkat ini begitu mirip dengan ponsel pintar besutan Research in Motion (RIM), BlackBerry. Dengan harga yang jauh lebih miring dari produk 'tetangga' itu, NexianBerry ini diserbu pengunjung selama pameran ICS 2009.


Dengan memanfaatkan gaung Facebook, alhasil NX-G900 sukses terjual sebanyak 1.000 unit di hari pertama. Jika rata-rata dalam sehari terjual sebanyak itu, berarti dalam 5 hari perhelatan ICS, Nexian Berry laku hingga 5.000 unit. Luar biasa!


Catatan kedua adalah tentang kiprah Acer. Untuk pertama kali vendor komputer asal Taiwan itu tampil bareng dengan dua brand yang sejak setahun lalu diakuisisi, yakni Gateway dan eMachines.

Konsumen dapat melirik jajaran produk terbaru dari Acer Group, seperti Aspire Timeline, Aspire One 10.1, Gateway ID series, dan eMachine D-Series. Animo konsumen pun cukup bagus, mengingat line-up produk yang diperkenalkan terbilang lengkap. Bahkan, beberapa diantaranya seperti netbook, sangat terjangkau oleh kantung pengunjung, yakni kurang dari Rp 4 juta.


Dari diskusi saya dengan Head of Marketing Communication Department Acer Group Indonesia Helmy Anam, strategi multi brand yang diterapkan oleh Acer adalah buah dari riset analis yang dilakukan secara ekstensif di pasar Eropa, Amerika Serikat dan sebagian Asia Pasifik. Riset itu bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai segmen pengguna dan memahami alasan mereka untuk melakukan pembelian, berdasarkan merek, teknologi dan sekaligus mengidentifikasi setiap merek.


Studi itu berhasil mengidentifikasikan enam segmen pengguna. Diantaranya adalah Tekno-Leader, Trend & Lifestyle, Conventional, dan Simplicity & Value for Money. Lewat klasifikasi itu, Acer bergerak ke tahap selanjutnya, yakni mendefinisikan proporsi nilai tiap merek, mempertahankan identitas tiap merek dan ciri khas, agar tidak tumpang tindih atau kalibalisme diantara merek-merek tersebut.


Dan setahun setelah menerapkan strategi multi brand, Acer telah merubah penampilannya, melalui jajaran produk yang tidak saja berbeda secara estetika, namun juga inovatif dan lengkap. Sementara dari sisi pasar, strategi multi brand semakin memperkuat cengkraman Acer, baik dipasar global maupun domestik. Saat ini Acer merupakan vendor PC dan notebook nomor satu di Indonesia dan nomor dua di pasar global. Luar biasa!



Thursday, June 18, 2009

Dongeng Garuda Food



Leading in innovation. Begitulah motto yang selalu didengung-dengungkan oleh produsen makanan terkemuka di Indonesia, Garuda Food. Bukan tanpa alasan bila President Direktur Garuda Food, Sudhamek AWS, memperkenalkan corporate tag line itu pada 1999, ketika krisis ekonomi hebat menghujam Indonesia. Dalam berbagai kesempatan, pria kelahiran Rembang itu kerap menyampaikan visi Garuda Food yang ingin menjadi produsen makanan yang tidak semata identik dengan kacang. Ia juga bercita-cita, pasar domestik harus lebih dulu dikuasai sebelum merambah pasar global.


Faktanya, tag line itu laksana tuah yang mampu menjadi kompas bagi pertumbuhan dan perjalanan Garuda Food. Rupanya, bagi manajemen Garuda Food arti krisis bukanlah kesulitan, namun peluang. Itu sebabnya, disaat produsen lain tiarap, Garuda Food tetap melaju dengan memperkenalkan berbagai produk inovatif. Langkah itu sejalan dengan penataan jaringan pasar yang mampu menjangkau retailer paling akhir. Begitu juga dengan aktifitas promosi yang tidak kendur.


Keberanian Garuda Food di masa-masa krisis berbuah manis. Kini, satu dekade setelah motto leading in innovation diperkenalkan, Indonesia boleh bangga memiliki perusahaan yang mampu berjaya di pasar domestic. Produk-produk Garuda Food selalu mendominasi pasar di berbagai segmen, baik kacang, biskuit, jelly, maupun makanan kecil lainnya. Bahkan, di ajang penghargaan prestisius seperti ICSA (Indonesia Costumer Satisfaction Award) atau IBBA (Indonesia Best Brand Award), produk-produk Garuda Food kerap menjadi jawara.


Kini disaat ekonomi Indonesia terimbas krisis ekonomi global, Garuda Food terlihat lebih siap. Meski pertumbuhan ekonomi melambat, Garuda Food pada 2009 yakin dapat mencetak total penjualan Rp 3,65 trilyun dari sebelumnya Rp 3, 04 trilyun tahun lalu.


Dari perbincangan saya dengan Managing Director Garuda Food Hartono Atmadja, terungkap bahwa tranformasi Garuda Food berikutnya adalah menggapai impian lebih tinggi, yakni menjadi perusahaan terkemuka di pasar global. Sesuai riset Goldman and Sachs, pada 2050 mendatang Indonesia bersama China, US, India, Brazil, Mexico dan Rusia, akan menjelma menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ketujuh di dunia. Sesuai proyeksi itu, pihaknya jauh-jauh hari sudah mencanangkan untuk mengambil peran yang signifikan dari berbagai peluang pasar yang ada.


Itu sebabnya, jika belakangan Garuda Food juga melirik pasar minuman berenergi dengan meluncurkan Enerfill, tentu hal itu adalah bagian dari strategi untuk merebut pasar di segmen yang terbilang gemuk. Sekedar catatan, pada 2008 nilai bisnis di sektor ini mencapai Rp 2 trilyun.


Nah, dongeng tentang Garuda Food selayaknya menjadi catatan penting dan bahan pembelajaran, terutama bagi perusahaan lokal yang ingin menjadi raja sekaligus tuan rumah di negeri sendiri. Di tengah impitan krisis ekonomi global dan lesunya pasar ekspor, potensi pasar dalam negeri sebenarnya sangat luas. Namun sekali lagi inovasi dan kreatifitas menjadi kunci dalam merebut hati konsumen.


Wednesday, June 17, 2009

Bola Panas Market Share


Dalam dunia bisnis, perang memperebutkan pangsa pasar atau market share warfare, tidak akan pernah ada ujungnya. Dan pertarungan paling sengit biasanya saja terjadi antara sang market leader dengan challenger. Lihat saja perseteruan antara Coca Cola dengan Pepsi Cola yang sudah berlangsung lebih dari 100 tahun sejak pertama kali minuman cola diperkenalkan ke pasar. Coca Cola didirikan pada tahun 1886, sementara Pepsi pada tahun 1903. Setelah itu, mereka pun secara konsisten mempertahankan dan meningkatkan brand-nya sebagai upaya memperbesar pangsa pasar.

Di Indonesia, kasus-kasus market share warfare pun tidak kalah menariknya. Lihat saja pertarungan antara Honda dengan Yamaha. Di pasar domestik, sepanjang tiga tahun terakhir market share Yamaha terus menunjukkan tren naik dan mengekor ketat Honda di posisi kedua. Pada 2005, market share Yamaha masih sebesar 21% dan langsung melonjak gila-gilaan menjadi 35% setahun kemudian. Pada 2007, sekaligus puncak prestasi YMKI, penguasaan pangsa pasar Yamaha mencapai sudah menembus 39,1%. Kondisi itu kontras dengan Honda. Jika pada 2007, Honda masih menguasai lebih dari 60% market share. Kini pada 2009, pangsa pasar Honda hanya tersisa 46,2%.

Prestasi Yamaha menyodok Honda jelas merupakan buah dari kreatifitas meluncurkan skuter matic (skutic) Mio pada awal 2003. Padahal, pasar skutic lebih dulu dimasuki oleh Kymco. Lima produk pesaing Yamaha, yakni Honda Vario dan Honda Beat, serta Suzuki Spin, Suzuki Skywave dan Suzuki Skydrive, belum mampu menandingi laju Yamaha. Strategi menyodok pasar dengan produk skutic membuahkan hasil spektakuler. Sepanjang 33 tahun sejarah persaingan sepeda motor di Tanah Air yang didominasi Honda, pada Maret dan Juli 2007, YMKI mampu menyalip AHM.

Menariknya, ditengah kondisi pasar yang menukik karena tingginya suku bunga, Yamaha pada April 2009 kembali berhasil membukukan penjualan tertinggi, yakni sebesar 189.082 unit disusul Honda 155.789 unit, Suzuki 36.901 unit dan Kawasaki sebesar 3.834 unit. Kesuksesan Yamaha menggusur Honda di posisi pertama, berarti mengulang sukses mereka pada 2007.

Sebagaimana terjadi di Thailand, market share skutik di Indonesia memang cenderung mengalami peningkatan. Pada 2007, pangsa pasar motor skutik masih sekitar 18%. Setahun berikutnya sudah merangkak naik menuju ke 26%. Dan sampai dengan quartal 1 2009, pangsa pasar skutik sudah mencapai 36%. Jelas, suatu peningkatan yang sangat besar.

Jika skutik meningkat, pasti ada yang menurun. Itu tidak lain adalah market share bebek konvensional. Semula masih 73% pada 2007, langsung melorot drastis menjadi 54% di kuartal pertama 2009. Melihat trend itu, wajar jika kini persaingan di segmen skutik cukup keras. Mampukah skutik Mio mempertahankan dominasi pasar? Waktu yang akan menjawab nanti. Namun diluar itu, prestasi Yamaha menggungguli Honda sekali lagi mematahkan adagium bahwa produk yang sudah terbilang katagoris bahkan TOM (top of mind) sulit untuk ditundukkan, adalah tidak sepenuhnya benar. Bagaimana Honda?

Tuesday, June 16, 2009

Kasus Prita dan Tantangan PR di Era Digital


Dunia kini memasuki online social media, era di mana konsumen melakukan percakapan secara horisontal satu sama lain di dunia maya. Era web 2.0 dan maraknya situs-situs pertemanan membuat dunia online menjadi tak terbatas. Dari milis, blog, facebook, friendster, MySpace, Plurk, Youtube, dsb.

Tidak seperti media mainstream yang diwarnai keterbatasan, online social media dapat meningkatkan “popularitas” citra perusahaan, produk, servis, bahkan citra individu. Jejaring media sosial juga bisa dimanfaatkan untuk tukar menukar gagasan, iptek, masukan dan lainnya.

Begitu pentingnya kehadiran online social media , maka sudah menjadi keharusan bagi para praktisi PR untuk melekatkan diri, jika ingin meraih sukses di era digital. Kenapa? Pertama, reputasi, relationship dan sukses korporasi bisa diciptakan atau sebaliknya dirusak melalui media sosial. Kedua, nilai dasar dari PR adalah membangun dan memelihara relationship. Dan ketiga, online social media adalah domain baru di era modern.

Karenanya, memahami dan mengenali cara kerja online social media adalah kewajiban, tidak saja untuk melihat peluang namun juga ancamannya. Sehingga, pada akhirnya perusahaan mampu memanfaatkan kanal ini untuk menunjang strategi komunikasi yang efektif terhadap konsumen.

Nah, dalam perspektif itu, kita dapat melihat berbagai kasus yang mengemuka sebagai pelajaran penting. Pendekatan PR yang terbilang sukses dilakukan oleh Oli Top 1. Seperti kita ketahui, beberapa tahun lalu, Top 1 digempur oleh isu negatif di dunia maya. Lewat email berantai, isu itu menyebar ke berbagai mailing list milik berbagai komunitas otomotif. Alhasil, hampir semua mailing list mengeluarkan “fatwa haram” bagi Top 1 (baik berupa pendapat pribadi maupun pendapat resmi kelompok).

Untuk mengcounter isu itu, sejak setahun lalu, Top 1 mulai melakukan online PR secara terintegrasi. Yakni membangun situs web khusus Indonesia, melakukan pendekatan ke media-media online, memperbanyak publikasi positif di media online, membuka konsultasi online untuk hal-hal yang berkaitan dengan motor dan mobil, terutama mengenai sistem pelumasan di mesin kendaraan, serta edukasi mengenai pengetahuan pelumas bagi masyarakat dan membangun komunikasi dua arah dengan pengguna Internet. Hasilnya, belakangan isu negatif tentang Top 1 sudah mulai meluruh.

Jika pendekatan PR yang dilakukan Top 1 terbilang berhasil dalam mengatasi isu miring yang berasal dari dunia maya, maka sebaliknya RS Omni Internasional merupakan contoh paling buruk. Karena lebih mengedepankan pendekatan hukum bukan PR, Omni kini malah harus menanggung beban berat. Rusaknya kredibilitas dan kepercayaan konsumen. Bila sebelumnya, Omni hanya ‘bertarung’ dengan seorang Prita Mulyasari. Kini Omni harus bertarung dengan seluruh publik di Indonesia (dan mungkin di negara-negara lain) yang bersimpati pada penderitaan ibu dua anak itu. Sekarang, Omni harus memulai jalan terjal untuk memulihkan nama baiknya yang kadung rusak.

Monday, June 15, 2009

Burung Nazar Berburu Mangsa


Bagi sebagian orang, krisis itu tak ubahnya kiamat kecil. Kerajaan bisnis yang dibangun puluhan tahun runtuh hanya dalam sekejap. Tapi, buat sebagian orang, krisis justru mendatangkan peluang. Inilah kesempatan bagi mereka untuk berburu hutang atau aset bagus dengan harga murah. Pendek kata, mereka tinggal menuai panen. Sementara yang bertahun-tahun berkeringat membangunnya hanya bisa mengusap dada.

Tengok saja kiprah Opus Supremus. Setelah sukses mengambil alih utang Lehman Brothers senilai US$ 140 juta, salah satu trust holding group dari Leichtenstein, negara kecil di perbatasan Austria dan Swiss ini, bersiap menggelontorkan US$ 400 juta guna mengambil alih hutang bermasalah (distressed debt) dan obligasi yang gagal bayar (default) dari sejumlah perusahaan di Indonesia. Utang itu selanjutnya dapat dikonversi menjadi kepemilikan saham.

Ditengah belitan krisis finansial global, Opus menilai potensi perusahaan yang gagal melunasi utang dan obligasi cukup besar. Hal itu, tidak hanya melanda korporasi di Indonesia, namun di hampir semua negara di dunia. Khusus di Indonesia, Opus telah mengidentifikasi sekitar 30 – 40 perusahaan, sebagian besar telah listing di BEI, berpotensi gagal membayar utang.

Contoh kasus gagal bayar yang sudah mencuat adalah emisi obligasi global PT Davomas Abadi Tbk dan PT Mobile-8 Telecom Tbk. Davomas mengumumkan kegagalan itu kepada pemegang 11% Guaranteed Senior Secured Notes yang jatuh tempo 2011. Sementara PT Mobile-8 Telecom Tbk gagal membayar obligasi dengan nilai total pokok, bunga dan denda obligasi US$ 215.000 kepada Java Investment Advisory Group Incorporated dan Precise Circle Limited sehingga diajukan ke sidang perkara kepailitan.

Gagal bayar kini menjadi ancaman paling serius bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia maupun negara Asia lainnya. Moody’s Investor Service belum lama ini mengungkapkan bahwa resiko restrukturisasi utang sejumlah perusahaan di Asia Pasifik mulai meningkat tajam, terutama sektor properti di Australia, Singapura dan China. Bahkan, segelintir perusahaan di India, Malaysia, Philipina dan Indonesia, tengah menghadapi tekanan berat dalam melunasi kewajibannya, menyusul perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Di Indonesia sendiri, BI menyebutkan bahwa utang perusahaan swasta yang akan jatuh tempo berjumlah US$ 19 milyar pada tahun ini.

Seiring masih berlangsungnya krisis finansial global, tak pelak bisnis distressed debt sangat menggiurkan. Selain Opus, dua perusahaan sejenis yang sudah beroperasi di Indonesia adalah Recapital dan Saratoga. Namun keduanya lebih fokus pada private equity, bukan pada pengambilalihan utang dan penyehatan perusahaan. Saratoga bersama konsorsium Northstar, pekan lalu bahkan sukses menggusur Pertamina dalam memperebutkan 37,15% saham PT Elnusa Tbk milik PT Tridaya Esta.

Nah, suka atau tak suka, Opus, Recapital dan Saratoga adalah segerombolan burung nazar di era pasar bebas. Siapa kuat dia menang!

Tuesday, June 9, 2009

Keluar Dari Kemelut Krisis


Pelan tapi pasti, krisis ekonomi global mulai kita rasakan dampaknya. Berbagai industri, terutama manufaktur mulai terpaksa melakukan efisiensi disana-sini karena daya beli masyarakat yang semakin melorot. Mari kita lihat satu industri saja, otomotif.

Setelah tahun lalu dilanda ephoria, Gaikindo memprediksi penjualan mobil domestik pada tahun ini anjlok 30% menjadi 424 ribu unit dibanding 2008 sebanyak 607 ribu unit. Pasar mobil tahun lalu merupakan yang tertitinggi sepanjang sejarah
Setali tiga uang, pasar sepeda motor juga melambat. Pada akhir tahun lalu, penjualan sepeda motor mencapai 6,2 juta unit. Suatu angka penjualan yang fantastis, sekaligus rekor tertinggi sepanjang sejarah penjualan sepeda motor di tanah air. Sayangnya belitan krisis dipastikan memangkas pasar motor nasional sebesar 30% menjadi 4,5 juta unit pada 2009. Krisis likuiditas di perusahaan pembiayaan membuat uang muka pembelian dan bunga cicilan motor membengkak. Akibatnya, penjualan motor terpangkas cukup dalam mengingat sekitar 70-80% pembelian menggunakan skema kredit. Tak pelak, demi mempertahankan kelangsungan usaha, industri motor nasional diprediksi bakal melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 1.000 orang pada tahun ini.

Nah, bila industri utama kelimpungan, mudah ditebak industri hilir pun ikut semaput. Mari kita longok nasib produsen helm. Pada Januari lalu, sudah terjadi pemangkasan produksi hingga 16,6% menjadi 1 juta unit/bulan dari sebelumnya sekitar 1,2 juta unit/bulan. Sejauh ini helm produksi domestik masih menguasai pasar lokal dengan porsi sekitar 70%. Belakangan impor helm juga cenderung turun seiring pengetatan impor yang dilakukan pemerintah. Meski begitu, potensi peningkatan pasar helm lokal masih cukup berat mengingat permintaan saat ini melemah.

Senasib dengan produsen helm, pabrikan ban pun mulai mengatur napas. PT Bridgestone Tire Indonesia yang menguasai 50% pangsa pasar, memperkirakan penjualan mereka anjlok 20% pada 2009 menjadi sekitar 9,6 juta unit dibanding tahun lalu sebanyak 12 juta unit karena melorotnya permintaan di pasar domestik maupun eskpor. Berbagai langkah penyelamatan dilakukan Bridgestone. Bahkan prinsipal memutuskan merelokasi order ke Indonesia.

Meski terpangkas cukup dalam, pebisnis di sektor ini tampaknya masih tetap optimis, bahwa pasar otomotif masih dapat bergerak. Dengan catatan, pemerintah secepatnya mempercepat realisasi stimulus ekonomi. Karena hanya dengan cara itu, gelombang PHK dapat dicegah.

TREND SPOTTING


Siapa bilang ilmu ramal meramal hanya milik Ki Joko Bodo atau Mama Laurence. Para entrepreneur dan top executive, dewasa ini pun wajib memiliki ilmu meneropong yang bakal terjadi masa yang akan datang. Trend Spotting, demikian istilah yang kini merupakan topik hangat diantara para CEO kelas dunia. Terutama sejak hantaman krisis, melanda perekonomian global. Ribuan perusahaan bangkrut dan banyak CEO yang harus kehilangan jabatan karena salah memprediksi arah pasar.

Mundurnya Ho Ching, istri Perdana Menteri Lee Hsien Loong, setelah lima tahun sebagai CEO Temasek Holdings, merupakan cerita kelabu salah satu perusahaan pengelola dana pemerintah terbesar di dunia. Ho Ching dianggap bertanggung jawab atas memburuknya kinerja Temasek. Sejak Desember 2007, Temasek telah menanamkan miliaran dolar AS ke dalam bekas bank investasi Wall Street, Merrill Lynch, yang menderita kerugian besar-besaran dari subprime AS, atau investasi mortgage berisiko tinggi.

Sebelumnya, krisis telah memaksa CEO Merrill Lynch Stan O'Neal untuk meletakkan jabatan. O'Neal mundur setelah bank investasi global itu mencatat kerugian hingga miliaran dolar AS, yang merupakan angka kerugian terbesar dalam 93 tahun sejarah Merrill Lynch.

Kontras dengan Ho Ching dan O’Neal, CEO Apple Corp Steve Jobs justru semakin melaju. Sang jenius perfeksionis yang hampir tamat karirnya ini sempat merasakan pahitnya didepak dari Apple pada 1985, saat generasi pertama Mac kurang mendapat respon pasar. Namun Jobs tetap pada keputusan untuk tidak mengubah fitur yang terdapat pada Mac. Jobs pun lompat ke perusahaan gurem NeXT, dimana ia sempat menciptakan PC seharga $ 10,000 yang penuh inovasi, namun tetap saja kelewat mahal.

Perjudian Jobs yang terbesar tentu saja adalah saat ini merogoh $ 50 juta dari koceknya, guna membiayai sendiri Pixar Animation yang saat itu tengah dilanda krisis keuangan. Namun kali ini keberuntungan mulai hinggap, ketika film Toy Story buatan Pixar yang dirilis pada 1995, meraih box office. Selanjutnya, dewi fortuna seakan tak ingin lepas dari Jobs. Akuisisi Apple atas NeXT setahun kemudian, memberi jalan baginya untuk mengalirkan darah baru bagi Apple, guna bersaing dengan raksasa peranti lunak Microsoft. Setelah iMac (1999), produk fenomenal tentu saja adalah iPod (2001) yang mengguncang bisnis pemutar musik digital. Jobs kemudian meluncurkan iTunes (2003) yang memungkinkan label besar menjual lagu mereka secara on-line. Dan yang paling anyar, Jobs meluncurkan iPhone, ponsel dengan kemampuan iPod. Tidak tanggung-tanggung produk ini diprediksi mampu terjual sebanyak 45 juta unit pada 2009.

Inovasi dan value, barangkali itulah yang menjadi kunci keberhasilan Steve Jobs dalam merumuskan trend produk di masa yang akan datang. Semoga kemampuan trend spotting juga menular pada para CEO kita, termasuk Karen Agustiawan yang kini menjadi nahkoda baru Pertamina.

Survival of The Fittest


Ramalan bahwa dunia akan memasuki resesi sudah diyakini sejak awal. Tapi, resesi yang datang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya, membuat banyak perusahaan tak siap. Gelombang pemutusan hubungan kerja pun akhirnya tak terelakkan.

Di Jepang saat ini bisa dikatakan secara teknis sudah memasuki resesi, menyusul laju pertumbuhan ekonomi yang mengalami kemunduran alias minus 0,4% pada akhir 2008. Alhasil, PHK yang sebelumnya bukan merupakan tradisi perusahaan Jepang, kini terpaksa harus ditempuh bila tidak ingin kinerjanya rontok. Produsen otomotif ternama Toyota, misalnya memecat 3.000 orang karyawannya setelah pendapatannya anjlok lebih dari 50%, suatu angka yang nyaris tak dipercayai bakal terjadi.

Keputusan yang sama juga dilakukan oleh Panasonic. Tidak tanggung-tanggung perusahaan yang didirikan oleh Konosuke Matsushita ini harus memberhentikan 15.000 karyawan dan menutup 27 pabrik di seluruh dunia. Perampingan itu sendiri bakal selesai pada Maret 2010. Panasonic harus mengambil keputusan drastis karena pada tahun fiskal yang berlangsung sampai Maret 2009 nanti, mereka memprediksi akan menanggung rugi bersih hingga US$4,2 milyar.

Pengumuman Panasonic keluar hanya beberapa hari setelah NEC dan Hitachi memastikan bakal memangkas 27.000 pegawai. Sebelumnya raksasa elektronik lainnya, Sony Corp, juga sudah mengurangi 16.000 pegawainya bulan lalu.

Kondisi yang sama juga menimpa industri telekomunikasi. Akhir tahun lalu vendor dan operator telekomunikasi global sudah mengumumkan rencana untuk mengurangi karyawan dalam jumlah yang cukup besar sebagai salah satu cara agar survive.

Nokia Siemens Network akhir tahun lalu berniat mengurangi sekitar 2000 karyawan. Disusul Ericsson yang siap melepas tak kurang dari 11.000 karyawan. Alcatel Lucent bahkan sudah siap merelakan 6.000 karyawannya untuk hengkang. Motorola baru saja mengumumkan untuk mengurangi lagi sekitar 4.000 karyawan. Bahkan vendor ponsel Nokia yang jadi pemimpin pasar harus mengurangi sekitar 400 karyawan.

Operator telekomunikasi juga kena imbas pengurangan karyawan. British Telecom, bersiap memangkas sekitar 11.000 karyawan. Telecom Italia bakal melakukan lay off sekitar 5.000 karyawan sampai tahun 2010. Telstra Australia siap-siap melepas 1.500 pekerja dan Vodafone akan memecat 950 pekerja.

Jelas, dampak krisis kali ini bukan main-main. Perusahaan-perusahaan yang tergolong raksasa harus mengambil keputusan drastis bila tidak ingin tercecer dalam iklim kompetisi global yang semakin ketat. Mereka rupanya belajar dari pengalaman perusahaan-perusahaan yang sebelumnya berjaya namun akhirnya meredup seperti Atari, Chesebrough-Pond’s, Data General, Flour dan National Semiconductor. Padahal dalam buku In Search of Excellence yang terbit dua puluh tahun lalu, keempatnya adalah pemimpin pasar dibidangnya masing-masing.