Tuesday, August 24, 2010

Price is Never Ending Battle!


Dalam perbincangan santai dengan Dirut salah satu perusahaan selular belum lama ini, terungkap sejumlah fakta yang membuat saya semakin kagum sekaligus khawatir dengan masa depan industri selular di negeri ini.

Fakta pertama, jumlah pelanggan seluler di Indonesia terus meraksasa. Dalam data terakhir, jumlahnya disebut sudah menembus angka 190 juta pelanggan. Itu berarti penetrasi pasar sudah hampir saturated. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan atau Surabaya, malah sudah melebihi 150 persen. Tiga besar operator, yakni Telkomsel, Indosat dan XL Axiata, mengangkangi tak kurang dari 75 persen market share. Telkomsel kini menggaet 90, Indosat 39 juta dan XL Axiata 35 juta pelanggan.

Fakta kedua, industri seluler menjadi berkah bagi negara berkembang, seperti Indonesia. Hal itu lantaran kian terjangkau dan berkembangnya layanan seluler di tengah semakin kurang populernya layanan telepon tetap yang dianggap mahal. Alhasil, 95 persen dari 190 juta itu merupakan pelanggan tipe prepaid.

Fakta ketiga, revenue industri seluler telah menembus di atas Rp 100 triliun. Revenue sebesar itu tak lepas dari besarnya nilai investasi yang ditanamkan hingga saat ini mencapai US$ 2 miliar. Investasi mencolok dapat dilihat dari jumlah BTS yang sudah mencapai lebih dari 100 ribu BTS.

Dibalik "kemegahan" itu, industri selular saat ini tengah menuju pada kondisi 3C (competition, change and crisis). Untuk bisa bertahan, konsolidasi pun tak terelakkan. Axis misalnya sudah mengawali hal itu lewat kerjasama dengan XL untuk melakukan perluasan coverage di luar Jawa. Langkah paling "radikal" adalah kerjasama antara Fren dan Smart yang sudah bersinergi dalam hal penjualan dan network sharing. Diperkirakan, dua operator CDMA ini akan segera melakukan merger.

Memang, keberadaan 11 operator menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kompetisi yang luar biasa ketat, bahkan cenderung berdarah-darah. China saja dengan costumer base yang sudah mencapai 500 juta pelanggan, hanya dihuni oleh 3 tiga operator.

Alhasil, bagi para pemain diluar tiga besar, tak ada pilihan lain, selain menjadikan price sebagai panglima. Faktanya, harga murah memang selalu menjadi key driver dalam merebut pelanggan.

Ironisnya, seiring dengan tumbuhnya kebiasaan baru pengguna dalam memanfaatkan internet, wilayah baru pertempuran pun meluas ke layanan data yang note bene merupakan masa depan industri selular. Disini, lagi-lagi operator kecil terus memanfaatkan pelanggan dengan katagori "price sensitive" untuk berpindah ke lain hati.

Tengok saja, langkah "harakriri" yang dilakukan Tri. Belum lama ini, operator asal Hong Kong itu memangkas kembali tarif Blackberry (BB) hingga Rp 69 ribu/bulan. Menjadikan Tri sebagai operator termurah dilayanan BB.

Sebelumnya, pada awal tahun ini Tri melakukan gebrakan dengan memangkas biaya berlanggan BB dibawah Rp 100 ribu. Kebijakan harga murah ala Tri kemudian diikuti oleh Axis yang mematok tarif Rp 79 ribu. Kini, tak urung, dua pemain besar lain yakni Indosat dan XL Axiata terpaksa memangkas tarif hingga Rp 120 ribu per bulan agar pelanggan mereka tak ikut pindah.

Konsumen tentu saja happy dengan harga murah. Alhasil, Tri mengklaim, jumlah pelanggan mereka di akhir 2009 tercatat 8,5 juta. Angka ini naik dua kali lipat dibanding 2008 yang hanya 4,5 juta pelanggan.

Namun, dibalik peningkatan jumlah costumer base, bagaimanapun penetapan harga yang dilakukan Tri sungguh diluar dugaan. Sebab setahu saya, licence fee untuk RIM (Research In Motion) saja, sudah mencapai Rp 70/bulan.

Strategi penetapan harga memang terkadang tak masuk akal. Sekali terjebak, pemain yang memanfaatkan harga murah akan terus akan terjerat hingga ke paling dasar sekalipun (how low ca you go).Tak berlebihan jika adagium price is never ending battle, sudah merupakan bagian dari industri selular saat ini. Repotnya, penetapan harga murah terkadang membuat blunder dengan turunya level QoS (quality of service).

Siapa mampu bertahan?

Aceh, A Mild dan Kampanye Go A Head


Awal bulan ini saya berkesempatan mengunjungi Banda Aceh. Berbeda dengan kota-kota besar lain seperti Jakarta, Medan atau Bandung yang menawarkan kehidupan khas metropolis, suasana menjelang malam di kota itu terasa mengasyikkan. Natural tanpa polesan kosmetik. Jauh dari kesan hingar bingar.

Deretan kedai kopi yang bertebaran di seeantero kota, mengundang selera untuk menikmati segelas minuman penghangat yang oleh masyarakat Aceh, populer dengan sebutan kopi Sareng. Suasana bertambah mengasyikkan, karena lewat laptop atau smartphone, selancar ke dunia maya bukan lagi hambatan. Karena rata-rata kedai-kedai tersebut sudah dilengkapi dengan perangkat WiFi atau sinyal 3G milik operator selular.

Memang pasca tsunami, Aceh kini semakin bergerak menuju pemulihan. Meski belum sepenuhnya lepas dari trauma konflik sekaligus bencana, setidaknya kondisi keamanan yang semakin kondusif, membuat masyarakat Aceh optimis akan masa depan bumi serambi Mekah itu. Dan seperti kota-kota lainnya, ritel dan jasa perdagangan, adalah dua bidang yang paling mencolok dalam menghela lokomotif ekonomi.

Tanda-tanda geliat ekonomi ini, bisa dilihat dari semakin bertebarannya billboard dari yang berukuran sedang hingga raksasa. Meski jauh dari kesan estetis, papan iklan modern itu, suka tidak suka kini menjadi penghias sekaligus penanda kota. Apalagi letaknya, umumnya berada ditempat-tempat startegis. bahkan di jalan-jalan prototol sekalipun kokh berdiri.

Seperti halnya kota lain, rokok adalah brand yang paling dominan. Merek-merk papan atas seperti A Mild, Gudang Garam, Jarum Super atau Dji Sam Soe, saling berlomba memanfaatkan setiap jengkal wilayah yang dianggap paling potensial diakses warga. Begitu pun merek-merek gurem, seperti Nu Mild, yang mencoba peruntungan mengambil market share di kota-kota sedang, seperti Banda Aceh.

Salah satu billboard yang cukup menyita perhatian saya adalah A Mild. Dari sisi tag line, yakni “Go A Head”, sebenarnya tak ada yang berbeda dari billboard yang terletak di jantung kota, dekat kawasan Masjid Baiturahman. Namun yang menarik, gambar yang ditampilkan berbeda dengan billboard A Mild pada umumnya. Sebanyak 36 penyelam membentuk posisi membentuk hurup kalimat “Go Head”.

Apakah tag line itu punya dampak terhadap spirit baru masyarakat Aceh. Entahlah. Yang pasti, lewat positioning baru itu, A Mild terus menancapkan pengaruh di benak konsumen. Positifnya, lewat kampanye Go A Head, brand yang sudah berusia lebih dari dua dekade itu, ingin agar masyarakat terus meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri. Dengan kepercayaan diri, tantangan seberat apa pun dapat ditaklukkan.

Monday, August 23, 2010

Scoopy dan PCX, Ampuhnya Strategi Blue Ocean Honda


Setelah hampir tiga tahun menjadi bulan-bulanan Yamaha yang unggul di segmen matik, Honda sukses melakukan win back. Kehadiran Scoopy dan PCX yang diluncurkan pada Mei 2010, membuat peta pasar langsung berubah drastis.

Walau dibanderol dengan harga diatas rata-rata skuter matik (skutik) Honda lainnya, namun PCX mulai menjadi buruan bikers. Sementara itu Scoopy makin menjadi skutik retro yang fenomenal.

Penjualan Honda PCX pada bulan lalu tercatat 447 unit sedangkan Scoopy 13.056 unit. Honda BeAT masih menjadi motor skutik Honda terlaris dengan angka penjualan 66.598 unit atau tumbuh 98 persen dibandingkan dengan Juli tahun sebelumnya. Sementara Honda Vario CW dan Vario Techno masing-masing terjual sebanyak 49.751 unit dan 25.876 unit.

"Kami juga cukup terkejut, ternyata sambutan untuk Honda PCX begitu positif. Tapi memang kami mohon maaf bila konsumen lama menunggu, karena motor ini diimpor langsung jadi pengurusan surat-suratnya cukup lama," ujar Marketing Director AHM, Julius Aslan.

Meski mengaku suprise, Julius mengungkapkan tanda-tanda kesuksesan Scoopy dan PCX, sebenarnya sudah dapat dideteksi pada saat diperkenalkan pertama kali dan pada pameran PRJ 2010.

Scoopy misalnya, pada hari pertama product launch sudah dipesan tak kurang dari 350 unit. Dan hanya dalam tempo dua minggu sejak peluncurannya, jumlah pesanan sudah membengkak menjadi 3.000 unit. Fenomena Scoopy terus berlanjut karena mencatatkan penjualan terbesar dari seluruh model Honda di gelaran Pekan Raya Jakarta (PRJ) 10 Juni – 11 Juli. Sepanjang satu bulan itu Scoopy terjual 4.361 unit atau 53 persen dari total penjualan produk Honda yang sebesar 8.264 unit.

Sementara skutik premium Honda PCX terjual 188 unit atau tiga kali lipat dari target penjualan yang ditetapkan. Padahal target penjualan Honda PCX di gelaran PRJ itu hanya 50 unit.

Skutik PCX sangat berbeda dibandingkan skutik Honda lainnya yang telah lebih dulu masuk ke Tanah Air. Dibekali mesin 125 cc PGM-FI sejumlah teknologi mutakhir dijejalkan pada skutik asal Jepang tersebut.

Misalnya saja fitur idle stop yang memungkinkan mesin motor ini mati dengan sendirinya ketika berhenti dalam waktu yang cukup lama seperti misalnya saat lampu merah.

Ada pula fitur pada mesin V-maticnya yang dikombinasikan dengan built-in cooled yang mampu menstabilkan temperatur mesin. Sistem alarm anti malingnya memiliki kecerdasan untuk mendeteksi getaran dan gerakan yang bisa diaktifkan melalui sebuah remote control.

Tak hanya itu Honda PCX juga dilengkapi dengan kecanggihan sistem combi brake hidrolis dengan 3 caliper yang memberikan kenyamanan dan kestabilan saat pengereman.

Sementara Scoopy, hadir sebagai skutik bergaya retro modern pertama di Indonesia. Dengan segala kelebihan yang dimiliki Honda Scoopy, tidak heran jika banyak yang ingin memilikinya, karena selain desain klasiknya yang menarik, matik yang satu ini juga dilengkapi dengan fitur-fitur yang modern seperti kunci pengaman bermagnet otomatis (auto secure keys shutter), tuas pengunci rem (brake lock), dan standar samping otomatis (side stand switch), dan choke otomatis. Karenanya tak heran bila Scoopy terus menjadi favorit bikers di Tanah Air.

Tak pelak, kehadiran PCX dan Scoopy mempertegas kesuksesan AHM dalam meramu strategi blue ocean. Meski bermain diceruk yang sama, AHM rupanya, tak ingin terus-terus didikte oleh Yamaha yang selama bertahun-tahun leading lewat varian Mio yang tampil begitu-begitu saja.

Tantangan Menjinakkan Tsunami Data


Kehadiran beragam ponsel cerdas dan tablet pengganti notebook, telah mendorong munculnya kebiasaan-kebiasaan baru pengguna ponsel. Selain aktivitas di jejaring social, pengguna semakin ketagihan dengan layanan musik dan video yang menguras data.

Sepanjang tahun ini ponsel cerdas diprediksi akan terus menguasai pasar, dan berdampak besar. Menurut survei yang dilakukan Nielsen, dominasi Blackberry dan iPhone bakal berlanjut sampai dengan tahun 2011, meski mereka akan mendapat ancaman serius dari ponsel yang berbasis Android.

Sebagai perangkat yang sudah matang, koneksi Wi-Fi telah hadir di mana-mana, dan jaringan 3G kini bisa diandalkan untuk berselancar di dunia maya, konsumen pun semakin dimanjakan dalam mengakses internet tanpa harus berada di depan desktop. Pilihan menggunakan smartphone sebagai pengganti perangkat besar lainnya, seperti PC dan TV kini semakin menyenangkan. Alhasil, menurut prediksi Nielsen, streaming film mobile, gaming dan full track download di katagori musik digital akan menjadi popular di masa depan.

CEO dan pendiri mSpot Daren Tsui, memprediksi bahwa streaming yang tersambung dengan ponsel akan menjadi fitur penting bagi konsumen pada tahun-tahun mendatang, karena orang ingin hiburan di mana saja dan kapan saja sesuai dengan permintaan (video on demand). Penelitian juga menunjukkan bahwa kurva yang mengadopsi fitur ini akan dipimpin oleh laki-laki muda berusia 18 sampai dengan 24 tahun.

Namun, seperti yang dilansir Cnet (30/11/2009), dapatkah mereka bisa menangani arus masuk para pengguna yang menyedot bandwidth dalam jumlah besar? Karena bagaimanpun juga, konten bergerak seperti itu membutuhkan bandwidth yang lumayan gede.

Tapi, Tsui meyakini para operator seluler akan berusaha menjawab tantangan tersebut. Apalagi, mereka akan berusaha dengan keras jika memang permintaan sangat tinggi di tengah masyarakat. Karena tentu saja hal itu akan menjadi cash cow baru yang sangat menguntungkan buat mereka.

Memang bagi operator, transformasi layanan dari teks dan voice ke data dan multimedia tak bisa dielakkan. Mereka dihadapkan pada kondisi dimana legacy business (SMS dan voice) yang selama ini menjadi revenue generator terus menyusut kontribusinya. Sementara new business berbasis mobile broadband diperkirakan baru akan menemukan bentuknya dalam beberapa tahun ke depan.

Tengok saja kasus yang dialami oleh Verizon Wireless. Operator raksasa asal Amerika ini, kini tengah kelimpungan dalam menangani arus data yang menyerbu bagaikan tsunami. Verizon memperkenalkan rencana data nirkabel terbatas pertama pada 2002, ketika sebagian besar pelanggan hanya membuat panggilan suara dan bertukar e-mail melalui ponsel mereka.

Namun kini, yang ada di pikiran pengguna iPhone hanyalah mendengarkan musik dalam jaringan dan bermain games melalui situs web. Repotnya, perbedaan dalam penggunaan data sangat besar. Sebuah video dengan durasi singkat mampu menyita bandwidth 500.000 kali lebih besar dari pada pesan teks. Alhasil, tiga tahun sejak iPhone melakukan debutnya, lalu lintas data di jaringan Verizon meroket hingga 5.000%.

President Director AT&T Mobility Ralph De La Vega, meyakini bahwa kondisi itu baru sekedar permulaan. Pasalnya. Puluhan ribu pengembang perangkat lunak, memimpikan aplikasi yang berjalan di berbagai ponsel cerdas seperti iPhone, Blackberry, Motorola dan Nokia. Beberapa aplikasi telah memakan bandwidth dalam jumlah yang tak terbayangkan sebelumnya.

Ambil contoh aplikasi uStream pada iPhone, yang memungkinkan Kelly Clarkson, bintang jebolan American Idol, menyiarkan video langsung kepada jutaan penggemarnya di seluruh dunia lewat iPhone.

Menurut data yang dilansir Forrester Research, saat ini 3% pengguna iPhone berkontribusi terhadap lalu lintas jaringan data di AS. Sementara itu, 97% pengguna lainnya bisa mendapatkan pelayanan yang lebih baik dan murah jka pecandu video seperti YouTube membayar lebih untuk pemutakhiran jaringan yang dibutuhkan guna mendukung kebisaan tersebut. “Banyak operator lain belum sepenuhnya memahami apa yang akan terjadi”, ujar De La Vega.

Skema Harga
Agar tidak terjebak pada “dumb pipe”, para analis menilai sudah saatnya operator merumuskan formula pentarifan yang lebih adaptif dengan kondisi pasar. Belajar dari kasus yang dialami AT&T dan Verizon yang diterjang tsunami data dari iPhone dan perangkat cerdas lainnya, mereka perlu menetapkan skema harga berjenjang, demikian saran Charles S. Golvin dari Forrester Research.

Pendekatan ini sudah banyak diterapkan di luar negeri. Di Inggris Raya, Orange dan O2 menawarkan paket data yang lebih murah bagi pemilik iPhone dengan penggunaan data di bawah kouta minimum bulanan. Sementara di Australia, Telstra, menawarkan empat skema harga. Begitupun di Kanada, penggunaan data bulanan dibatasi.

Di Indonesia, Telkomsel telah mempelopori skema tersebut. Belajar dari kasus T-Flash dipenghujung 2009, dimana 20% pengguna memanfaatkan 80% resources yang ada, Telkomsel kini menawarkan system pentarifan dengan beragam denominasi yang lebih sesuai dengan habit pengguna.

Ambil contoh paket perdana Flash Unlimited seharga Rp60.000 yang diluncurkan beberapa waktu lalu. Dengan kartu prabayar ini. pelanggan dapat menikmati akses internet berkecepatan tinggi seperti chatting, social networking, browsing, downloading menggunakan modem mulai dari 384 kbps (kilobit per second).

Menurut VP Channel Management Telkomsel, Gideon Edie Purnomo, perilaku komunikasi pelanggan kini didominasi penggunaan layanan data. Paket Perdana Flash Unlimited berisi pulsa Rp55.000. untuk berlangganan, cukup kirim SMS, ketik UL REG 50, kirim ke 3636. Telkomsel juga menyediakan paket Rp 100.000 dan paket Rp200.000. dimana pelanggan harus melakukan isi ulang pulsa terlebih dahulu senilai paket yang akan dibeli, lalu melakukan registrasi, ketik UL REG 100 atau 200. kirim ke 3636. Seluruh paket ini diperpanjang secara otomatis ketika masa aktif paket habis.

Saat ini menurut Gideon, Telkomsel menyalurkan trafik komunikasi data kurang lebih 2000 terabit per bulan. Trafik yang begitu besar ini masih sanggup ditampung, sebab kapasitas jaringan yang disiapkan jauh lebih besar, tiga kali lipatnya atau 6000 terabit.

"Wajar saja kalau trafik komunikasi data kami demikian besar. Dari 90 juta pelanggan, lebih dari 20 juta merupakan pelanggan data aktif. Dan 5 juta di
antaranya menggunakan mobile broadband Telkomsel Flash," ungkap Gideon.

Smartphone Bakal Semakin Booming


Jika iseng-iseng Anda melakukan poling kecil-kecilan, apa smartphone yang layak dimiliki. 3 dari 1 responden, mungkin akan memilih Blackberry dengan beragam alasan. Yang menarik, dari beberapa alasan tersebut, tetap terhubung dengan teman-teman via BBM dan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, umumnya adalah alasan utama.

Jelas, hal ini adalah kabar baik bagi operator. Karena popularitas Blackberry yang sebelumnya identik dengan push email, kini semakin mendorong pengguna untuk memanfaatkan layanan new business berbasis mobile broadband yang diprediksi akan menjadi revenue generator di masa depan. Sekaligus menggantikan basic service, seperti SMS dan voice, yang dipastikan bakal stagnan dalam beberapa tahun ke depan.

Itu sebabnya, untuk mendorong ekosistem pasar agar tumbuh lebih cepat, operator mulai mengurangi pola penjualan bundling dengan ponsel-ponsel GPRS (2G). Digantikan dengan ponsel cerdas, baik 3G atau HSPA hingga HSPA+.

Telkomsel dan Indosatnya, misalnya sudah mempelopori penjualan smartphone seperti berbasis Android dari berbagai merek, seperti HTC, LG, Sony Ericsson, Huawei, Samsung, dan Motorola.

Memang operator harus bergerak cepat, karena seringkali market juga menunggu momentum
yang kadang kala dapat di drive oleh costumer atau pemain di industri. Dan kabar baiknya, smartphone diprediksi akan menguasai lebih dari setengah penjualan ponsel di Asia pada 2015. Diperkirakan, ada sekitar 477 juta unit smartphone yang terjual di wilayah tersebut.

Hal ini diungkapkan firma riset Consultancy Frost and Sullivan. Disebutkan, smartphone akan mengambil porsi sebesar 54 persen dari total pasar ponsel Asia Pasifik dalam lima tahun mendatang, meningkat sangat tajam dari tahun 2009 yang hanya lima persen.

Manager Consultancy Frost & Sullivan Marc Einstein menyebutkan, melonjaknya tingkat penjualan smartphone sangat potensial mendorong pendapatan besar bagi para operator telekomunikasi, seiring membanjirnya permintaan akan layanan data.

Perkiraan ini sangat masuk akal mengingat smartphone merupakan perangkat yang menyediakan akses data lebih cepat untuk browsing internet, email, dan konten lain yang membuat smartphone selalu 'haus' akan data.

"Smartphone sangat penting untuk bisnis mobile broadband setiap operator, ARPU (Average Revenue Per User) pengguna smartphone biasanya meningkat sebesar 25 hingga 100 persen setelah bergantung pada pasar," kata Einstein.

Dia menambahkan, pasar Asia Pasifik khususnya sangat menarik untuk smartphone, mengingat terdapat peningkatan signifikan dalam penjualan smartphone di negara-negara seperti China, India dan Indonesia.

Nokia Pun Ditinggal Para Distributornya


Booming Blackberry dan ponsel qwerty pada tahun ini benar-benar menjungkir balikkan peta pasar. Merek-merek seperti Nexian, K-Touch, T-phone, HT Mobile, Mito, Dezzo, D-One dan seabrek merek lainnnya, mampu menggusur pemain besar seperti Nokia dan Sony Ericsson yang sebelumnya sudah malang melintang di Indonesia. Repotnya, bagi Nokia atau Sony Ericsson, mereka tak hanya kehilangan market share yang signifikan, namun juga ditinggalkan para distributor yang sebelumnya terbilang loyal.

Tengok saja, Oke Shop. Gerai yang dimiliki oleh Trikomsel, kini lebih banyak menjual Blackberry di segmen smartphone, ketimbang seri E63 milik Nokia. Begitu pun dengan ponsel low end, yang lebih banyak didominasi oleh ponsel merek lokal. Padahal selama lebih dari 10 tahun, Trikomsel yang dikomandani oleh Sugiono Wiyono, menjadi ujung tombak Nokia di pasar ritel ponsel nasional.

Kondisi yang sama juga terjadi Global Teleshop (GT). Gerai yang dimiliki oleh Cipta Multi Usaha Perkasa ini (CMUP), sekarang lebih banyak mengandalkan penjualan Blackberry. Padahal, seperti halnya Trikomsel, CMUP yang dimiliki oleh Hermes Thamrin, adalah salah satu dari empat distributor yang telah berjasa membesarkan Nokia dalam merebut pasar Indonesia.

Bahkan untuk menandakan keseriusan memasarkan Blackberry, tak tanggung-tanggung GT menggaet Choki Sitohang sebagai brand ambassador. GT juga tetap mengandalkan pola bundling dengan operator seperti Telkomsel dan bank papan atas dengan bunga 0%.

Selain merebut pasar smartphone, GT yang telah mereposisi dari single brand ke multy brand juga memperkuat pijakan dipasar low end. Selain menjual brand lain, GT sejak beberapa waktu lalu memasarkan merek sendiri, yakni G-Mobile, yang langsung didatangkan dari China. GT, tampaknya tak ingin kue merek lokal hanya dikuasai pemain lain, seperti Sarindo yang memasarkan sendiri merek D-One.

Jelas, tekanan buat Nokia bukan hanya dari aspek produk yang mulai kehilangan pamor, namun juga dari sisi dealership. Bagi pemain seperti Sugiono atau Hermes Thamrin, kemana arah angin bertiup, kesanalah langkah harus dituju. Kalau sekarang adalah eranya Blackberry, kenapa pula harus loyal terhadap Nokia? Begitu kira-kira isi kepala Sugiono dan Hermes.

Monday, August 16, 2010

Menunggu Peruntungan Google di Segmen Tablet


Pertarungan terbuka antara Google dan Apple terus berrlanjut. Setelah melejit dengan Nexus One dan Android OS - yang menjadi platform baru untuk smartphone - kini raksasa mesin pencari Google, siap masuk ke pasar tablet guna mengimbangi kedigdayaan iPad milik Apple.

Meski demikian CEO Google, Eric Schmidt masih belum bersedia untuk membeberkan proyek rahasia itu. Sementara publik tentu berharap gadget yang diposisikan antara notebook dan smartphone ini dapat diperkenalkan pada akhir tahun ini juga.

Masa Depan Tablet
Dengan semakin maraknya vendor papan atas memperkenalkan produk tabletnya, banyak yang memprediksi invasi tablet yang dipelepori oleh iPad Apple diprediksi akan menghadang penjualan ponsel cerdas. Namun, hal tersebut dibantah oleh lembaga riset Gartner.

Menurut Gartner, penjualan smartphone di seluruh dunia telah melonjak selama kuartal terakhir yang disebabkan harga yang terus menukik turun.

"Seperti yang kita prediksi, pertumbuhan mendadak dalam tablet media, seperti iPad Apple, tampaknya tidak menahan penjualan smartphone," kata Carolina Milanesi, Vice President riset di Gartner, yang dilansir TG Daily, Senin (16/8/2010).

"Kami percaya bahwa sebagian besar pengguna tablet masih merasa perlu untuk perangkat, benar-benar pocketable tetapi sangat mampu, bagi mereka situasi saat itu nyaman untuk membawa perangkat dengan faktor bentuk yang lebih besar," tambahnya

Penjualan ponsel cerdas sendiri meningkat lebih dari 50 persen pada kuartal kedua tahun lalu. Dari data Gartner, penjualan perangkat Mobile kepada pengguna akhir sebesar 325.6 juta unit, naik 13,8 persen pada tahun lalu.

Penjualan ponsel cerdas menyumbang 19 persen dari penjualan perangkat mobile di seluruh dunia. Menurut catatan Gartner Android berkembang pesat di kuartal kemarin, menyalip Apple iPhone OS untuk menjadi OS ketiga-paling-populer di dunia. Di Amerika Serikat, juga mendahului RIM OS untuk menjadi nomor satu.