Monday, January 31, 2011

Kini Jamannya Instant Messaging


Tangan terus saja menari di atas keypad, begitupula dengan mata yang terus fokus memandangi layar ponsel. Ya, begitulah pemandangan yang sekarang ini sudah biasa kita temukan di dalam bus, kereta, kafe,kantor atau tempat umum lainnya. Selain mereka asyik berbalas komen di situs pertemanan, tren saat ini adalah berkirim pesan via chatting atau instan messaging (IM).

Pergeseran tren kirim pesan singkat dari teks menjadi chatting, awalnya dipicu oleh kehadiran Blackberry (BB) lewat fitur andalannya Blackberry Messenger (BBM). Setelah itu, diikuti oleh booming-nya layanan IM lain, seperti Yahoo Messenger (YM) maupun Google Talk (GTalk).

Layanan tersebut makin populer seiring dengan adanya tarif flat yang sudah tersedia di layanan BB. Tak heran bila saat ini banyak vendor ponsel atau operator telekomunikasi menyediakan layanan IM antar pengguna produknya, sebab mobile IM disebut-sebut bakal menjadi aplikasi cerah di masa depan.

Lalu bagaimana dengan nasib SMS? Meski SMS reguler diperkirakan masih akan berumur panjang, namun layanan ini masih bisa digeser. Tentunya bukan digeser dari segi penggunaan, melainkan dari sisi tren yang harus bersaing ketat melawan kehebohan IM. Pasalnya, jika dilihat dari segi penggunaan, trafik SMS reguler masih cukup banyak diminati pengguna, khususnya mereka yang tidak menggunakan ponsel berfitur seperti BBM.

Sifat IM yang sangat interaktif, menarik, harga terjangkau dan lebih mengasyikkan ketimbang SMS seolah menjadi kekuatan tren IM tersebut. Apalagi dari sisi operator telah menyiapkan paket-paket chatting via IM dengan harga terjangkau sesuai kebutuhan pengguna, ditambah kualitas koneksi dan jaringan yang mumpuni.

Monday, January 24, 2011

Mandala dan Penyelamatan Jilid II (Bagian 2)


Limbungnya Mandala, tentu menyisakan banyak pertanyaan. Salah satu yang paling krusial adalah, apakah positioning Mandala di bisnis penerbangan domestik, menjadi sumber dari segala persoalan bisnis dan keuangan yang kini telah menjadi bom waktu?

Seperti kita ketahui, sejak diakuisisi oleh Cardig dan Indigo Partner pada 2006, Mandala pada awalnya memproklamirkan diri sebagai maskapai dengan layanan kelas menengah (medium service).

Namun, entah karena pertimbangan pasar, memasuki 2010, Mandala tergoda memasuki segmen low cost carrier. Padahal ini adalah segmen yang keras, karena hampir semua maskapai di Indonesia terjun di kolam yang sama. Di segmen ini, Mandala bertarung dengan banyak pemain, seperti Batavia Air, Sriwijaya Air dan Lion Air yang menjadi market leader. Belum lagi sejumlah pemain asing seperti Air Asia dan Silk Air.

Meski masuk ke segmen low cost carrier (LCC), namun Mandala tetap berkomitmen bahwa keamanan dan kenyamanan tetap menjadi faktor utama dalam bersaing. Pengoperasian pesawat baru yakni Air Bus dan pemanfaatan fasilitas pemeliharaan pesawat milik Singapore Airlines, menujukkan komitmen tersebut. Itu sebabnya, nyaris tak ada insiden berarti menyangkut keselamatan yang menimpa Mandala, sejak maskapai ini diambil alih oleh investor baru dari Kostrad.

Sayangnya, kelebihan tersebut hanya menjadi persepsi yang bagus bagi konsumen, tidak menyangkut kocek perusahaan. Diono Nurjadin, Dirut Mandala, pada akhirnya mengakui perubahan fokus bisnis dari medium service ke low cost berdampak fatal. Kendala paling mendasar adalah dalam penjualan tiket.

Sebagai maskapai berbiaya murah, Mandala sangat bergantung pada penjualan tiket di level agen. Padahal, seharusnya tiket LCC dijual langsung ke calon penumpang atau direct selling. "Penjualan direct selling tidak bisa meningkat meskipun kami telah membuat sistem direct selling yang biayanya mahal", ujar Diono.

Alhasil, penumpang Mandala terus menciut. Pada 2008, penumpang Mandala sempat mencapai 3,5 juta orang. Namun pada 2010, turun menjadi 2,5 juta orang. Selain itu, Diono mengaku, program peremajaan pesawat dari Boeing menjadi Airbus, menyebabkan biaya operasional membumbung tinggi.

Disisi lain, biaya sewa pesawat terbang lebih mahal. "Akibatnya tunggakan ke lessor terus meningkat, sementara jumlah pesawat terus berkurang karena dikembalikan", keluh Diono. Namun ditengah belitan krisis, Diono optimis dapat menggaet investor baru, meski harus berkejaran dengan waktu.

Memang persepsi yang bagus dibenak konsumen dan sumber daya manusia yang telah teruji, membuat Mandala terlalu sayang untuk kolaps. Namun untuk kembali turn around, sepertinya Mandala harus kembali di jalur medium service. Meski posisi ini satu strip dibawah Garuda Indonesia, namun tak banyak maskapai yang merambah segmen ini.

Sunday, January 23, 2011

Mandala dan Penyelamatan Jilid II (Bagian 1)


Awal tahun ini, kita dikejutkan dengan berita tak mengenakkan dari dunia penerbangan. Maskapai Mandala Airlines berhenti beroperasi untuk sementara, karena adanya masalah keuangan dan internal perusahaan lainnya. Sesuai aturan yang berlaku, Mandala berhenti beroperasi selama 45 hari sesuai dengan masa waktu pengajuan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Meski hanya bersifat sementara, tak urung banyak pihak menyayangkan keputusan itu karena Mandala selama ini dikenal sebagai salah satu maskapai besar di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, Direktur Utama Mandala Diono Nurjadin mengaku maskapai yang dipimpinnya mengalami kerugian bisnis, dan kesulitan keuangan. Tarif sewa pesawat yang dikenakan oleh Indigo Partners terlampau mahal sehingga memberatkan perusahaan. Tak pelak, Mandala harus mengembalikan lima pesawat Airbus yang disewa dari Indigo, perusahaan pemilik pesawat yang sekaligus menjadi pemegang 49 persen saham Mandala.

Namun Diono optimis bahwa Mandala bisa bangkit lagi. Diono mengaku saat ini sedang mencari investor baru agar bisa menyuntik modal ke Mandala. "Belum bisa diumumkan, tapi mereka setuju dengan restrukturisasi ini," ujarnya.

Diono bilang langkag restrukturisasi keuangan sekaligus akan memberi ruang bagi investor baru masuk menyuntikan dana ke maskapai berusia 40 tahun tersebut. Manajemen berharap Mandala bisa beroperasi kembali setelah restrukturisasi tuntas.

Too Big to Fail

Mampukah Mandala lolos dari jerat kebangkrutan? Meski sulit, banyak pihak meyakini bahwa Mandala akan keluar dari krisis. Pasalnya, Mandala memiliki track record yang semakin baik. Meski merupakan low cost carrier, Mandala bahkan menjadi maskapai swasta pertama Indonesia yang memperoleh sertifikasi keselamatan dari Asosiasi Perusahaan Penerbangan Internasional (IATA). Dengan persepsi yang sangat baik, terutama dari sisi keselamatan dan kenyamanan, sangat sayang jika Mandala harus terkubur dari persaingan.

Apalagi sebelumnya, Mandala pun pernah keluar dari jerat krisis. Sebelum bangkrut, Mandala yang dulunya dimiliki oleh Kesatuan Militer (Kostrad) pada 1990, sebenarnya sudah beralih kepemilikan saham kepada Cardig International (51 persen) dan Indigo Partners (49 persen). Di bawah pemilik baru, Mandala yang bertarung di tarif murah ini dikenal memiliki keselamatan yang bagus, serta ketepatan waktu pemberangkatan rata-rata 83 persen pada 2010.

Sejauh ini, sejumlah pihak sudah dikait-kaitkan dengan Mandala. Salah satunya Garuda Indonesia. Maskapai penerbangan kebanggaan Indonesia itu, diketahui tengah menyiapkan konsep pengembangan hingga 2018 dengan nama Quantum Leap. Rencana ini menyiapkan perseroan sebagai flag carrier nasional dan angkutan penerbangan di masa datang.

Manajemen juga akan menambah armada menjadi 116 pesawat pada 2012. Selain itu, Garuda terus menambah rute domestik dan internasional hingga menjadi 62 destinasi.

Yang tak kalah penting, Garuda berniat mengembangkan segmen bisnis penerbangan murah yang kini ditangani oleh Citilink. Apakah nantinya Mandala akan dikawinkan dengan Ciilink? Wallahu Alam.

Siapa pun investor baru Mandala, kita berharap sejarah kelam industri penerbangan Indonesia, cukup berhenti pada kasus Adam Air yang salah urus. Jadi, kita tunggu saja, siapa majikan baru Mandala nantinya.

Wednesday, January 12, 2011

Dari Safety Riding Hingga Kemacetan Lalu Lintas


Bisa jadi Indonesia adalah penyumbang angka kecelakaan tertinggi di dunia. Tengok saja data yang dilansir oleh pihak kepolisian RI. Hampir 10.000 orang meninggal dunia sepanjang tahun lalu. Angka tersebut, ternyata lebih rendah dibandingkan 2009 yang menembus 19.000 orang.

Meski terjadi penurunan, besarnya angka korban yang mencapai ribuan, tetap saja dinilai gila-gilaan. Sepertinya, otoritas terkait dan juga masyarakat, perlu lebih bekerja ekstra keras dan saling bahu-membahu menekan angka kecelakaan, jika perlu hingga zero accident.

Itulah salah satu pandangan yang mengemuka, saat digelarnya Diskusi dan Peluncuran Buku: Hiruk Pikuk Bersepeda Motor, karya rekan saya Edo Rusyanto. Diskusi ini menghadirkan Bambang Susantono (Wakil Menteri Perhubungan), Hiramsyah Thaib (CEO Bakrieland Development), Paulus Firmanto (GM Yamaha Motor Kencana Indonesia) dan Sigit Kumala(GM Pemasaran Astra Honda Motor). Kebetulan saya sendiri didaulat untuk memandu diskusi yang berlangsung di Marketing Gallery Rasuna Epicentrum, Kuningan (12/1).

Selain tema yang menggelitik, diskusi ini bisa menghadirkan para stake holder dari beragam kepentingan, termasuk pemerintah. Tak pelak, para penggiat keselamatan jalan dan transportasi yang hadir seperti Road Safety Indonesia (RSA), Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), Institut Studi Transportasi (Instran), dan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), pun semakin bersemangat. Begitu pun dengan para profesional, komunitas/klub pemotor, mahasiswa, jurnalis, dan blogger.

Memang dalam lima tahun terakhir, seiring dengan ledakan penjualan sepeda motor, hantu kecelakaan ternyata semakin meninggi. Fakta juga menunjukkan, 70% kecelakaan lalu lintas tersebut ternyata melibatkan kendaraan roda dua itu. Ironisnya, pemerintah sepertinya belum bisa berbuat banyak dalam upaya menekan angka kecelakaan. Alih-alih membangun sistem transportasi masal sebagai solusi agar pengguna sepeda motor mau beralih, pemerintah tampaknya lebih suka membangun jalan tol untuk kepentingan mobil pribadi.

Tentu saja para ATPM tidak mau disalahkan dalam kondisi. Sigit dan Paulus sepakat, persoalan safety riding bukan tanggung jawab ATPM semata, harus terus dikampanyekan lewat sinergi dengan banyak pihak. Dengan semakin banyaknya unsur yang peduli akan keselamatan berkendara, termasuk LSM dan komunitas, diharapkan virus ini bisa menular ke masyarakat.

Selain safety riding, persoalan lain yang tak kalah seru dibahas adalah soal klasik, yakni kemacetan yang semakin mendera kota-kota besar, terutama Jakarta. Bambang Susantono bilang, kemacetan merupakan fenomena yang terjadi di semua kota-kota besar dunia, tak terkecuali Jakarta. "Tokyo dan New York saja tetap macet, terutama di jam-jam sibuk", ujar Bambang. Karenanya, tantangan yang harus dihadapi bukan sekedar mengurangi kemacetan, namun terpenting adalah mengelola lalu lintas sebagai sumber kemacetan itu, tandas Bambang.

Bambang menyebutkan, bagaimana pun, program transportasi masal akan terus diusahakan oleh pemerintah karena itu adalah hak warga negara. Selain MRT dan subway, pihaknya saat ini sedang mematangkan program KA Bandara yang terhubung ke tengah kota.

Bagaimana dengan peran pengembang? Hiramsyah mencontohkan, berbagai mega proyek milik Bakrieland telah menerapkan pembangunan yang berorientasi pada tata ruang yang bisa membantu mengurai kemacetan lalu lintas. Seperti Rasuna Epicentrum, kawasan terintegrasi yang mengedepankan aksesibilitas dan konektifitas, tak hanya bagi penghuninya namun juga masyarakat luas. "Dengan bertumpu pada tata ruang, pengembang tak hanya memikirkan keuntungan semata. Kemudahan akses dan keterhubungan point to point, justru dapat menjadi nilai lebih suatu proyek", ujar Hiramsyah.

Monday, January 3, 2011

Fantastis, Penetrasi Pasar Ponsel di Brasil


Bukan hanya jawara di sepak bola saja, Brasil ternyata memiliki berbagai potensi yang mengundang minat para investor, diantaranya adalah sektor telekomunikasi yang menunjukkan pertumbuhan sangat fantastis.

Brasil merupakan Negara yang memiliki sistem industri terbaik dan kekuatan ekonomi terkuat di Amerika Latin. Pada akhir tahun 2008, Brasil memiliki populasi lebih dari 180 juta. Pada tahun 2008, PDB Brasil mencapai hampir 2,9 triliun BRL (1,3 triliun USD), meningkat sebesar 5,1% dibandingkan dengan tahun 2007.

PDB per-kapita Negara tersebut sebesar 15.000 BRL atau setara dengan 6.730 USD, meningkat sebesar 4% dibandingkan dengan tahun 2007. Sejak tahun 2004, ekonomi Brasil telah terus-menerus menunjukkan peningkatan yang cukup pesat dengan tingkat pertumbuhan tahunan ekonominya sebesar 4,62%.

Di sektor telekomunikasi, Brasil memiliki potensi pasar yang sangat besar. Pada akhir tahun 2008, jumlah pengguna ponsel telah menembus lebih dari mencapai 150 juta, meningkat 24,52% dibandingkan dengan akhir tahun 2007. Pada akhir Juni 2009, jumlah pengguna mencapai hampir 160 juta.

Secara umum, industri telekomunikasi di Brasil adalah yang terbaik di antara Negara-negara lain yang berada di wilayah Amerika Latin. Brasil juga memiliki peralatan telekomunikasi digital yang modern. Peralatan telekomunikasi digital yang mereka miliki merupakan hasil kerja sama publik dan swasta. Dengan adanya fasilitas telekomunikasi modern tersebut, memungkinkan masyarakat Brasil untuk melakukan panggilan komunikasi dengan biaya yang murah, termasuk panggilan internasional.

Menjelang akhir tahun 2010, regulator telekomunikasi di Brasil mengumumkan bahwa penetrasi ponsel di negara tersebut telah melampaui jumlah populasi penduduknya. Penetrasinya telah lebih dari 100 persen pada akhir Oktober lalu.

Hingga bulan November 2010 data pelanggan seluler bertambah lagi menjadi tiga juta pelanggan baru. Jumlah tersebut menggenapkan jumlah pelanggan seluler Brasil menjadi total 194,4 juta pelanggan. Padahal populasi di negara tersebut hanya sekitar 191,4 juta penduduk saja.

Ini menunjukkan bahwa sekitar 100 penduduk di Brasil memiliki kurang lebih 100,44 sambungan telepon. Dari angka 194,4 juta tersebut, 82,19 persen atau setara dengan 159,82 juta pelanggan seluler di Brasil menggunakan layanan prabayar. Sedangkan 17,81 persen, atau 34,63 juta sisanya menggunakan layanan pascabayar.

Industri telekomunikasi di Brasil sangat aktif dan terus berkembang berkat kemajuan teknologi modern dalam industri ini. Dari jumlah delapan operator telekomunikasi yang bermain di pasar Brasil, Vivo memiliki pangsa pasar yang paling besar dengan menguasai market share sebesar 30,03 persen atau sebanyak 58,39 juta pelanggan. Sedangkan di posisi kedua adalah Claro dengan pangsa pasar 25,5 persen atau sekitar 49,74 juta pelanggan. Sisanya berturut-turut dimiliki oleh Tim, Oi, CTBC, Sercomtel, dan Unicel.

Dari GSM hingga CDMA
Sementara dari sisi vendor handser, pasar ponsel di negeri samba itu dikuasai oleh berbagai merek internasional seperti Nokia, Motorola dan Apple serta merek lokal seperti Evadin. Pasar ponsel ini mengusung empat standar teknologi yaitu GSM, CDMA, TDMA dan WCDMA. Sekitar 90 persen pengguna ponsel lebih memilih ponsel GSM.

Ponsel GSM adalah produk utama di pasar ponsel Brasil dan merupakan teknologi yang paling banyak digunakan oleh pelanggan seluler di Brasil dengan jumlah pelanggan mencapai 170,98 juta atau 87,94 persen market share. Sedangkan WCDMA mengikuti dibawahnya dengan jumlah 12,92 juta pelanggan atau marketshare 6,65 persen.

Belum lama ini Anatel [Badan telekomunikasi Brazil] melaporkan bahwa mereka telah mengimplementasikan teknologi CDMA yang bergerak di frekuensi 450 MHz di beberapa kota di negara itu sehingga sedikitnya 3.000 penduduknya bisa menikmati akses telepon dan komunikasi data berkecepatan tinggi.

Penggunaan teknologi itu, merupakan bagian dari proyek pemerintah Brazil sebagai upaya jembatan untuk mengatasi kesenjangan digital yang dialami negara tersebut. Penyediaan akses Internet dan telepon merupakan bagian salah satu prioritas pemerintah terutama di negara-negara berkembang, dan teknologi CDMA bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi persoalan tersebut.

Pada tahun 2008, pasar ponsel Brasil memperkenalkan 253 model ponsel baru, di antaranya ada 195 ponsel GSM, 56 ponsel WCDMA dan 2 ponsel CDMA. Pada semester pertama tahun 2009, pasar telepon seluler Brasil memperkenalkan 142 model ponsel baru, di antaranya ada 116 ponsel GSM dan 26 ponsel WCDMA.

Pasar ponsel Brasil sebagian besar difokuskan pada ponsel-ponsel low-level medium dengan sebagian besar pengguna cenderung membeli ponsel yang memiliki fasilitas kamera dan Bluetooth.