Wednesday, April 20, 2011

RFID Vs NFC, Siapa Lebih Unggul?


Pesatnya pertumbuhan mobile wallet tak terlepas dari dukungan teknologi pemindai. Saat ini dikenal dua jenis teknologi yang saling bersaing, yakni RFID dan NFC. Meski belum terlalu populer, NFC diperkirakan akan menjadi primadona baru teknologi mobile wallet.

Saat ini teknologi paling populer yang mendukung aplikasi mobile wallet adalah RFID atau Identifikasi Frekuensi Radio. Metode identifikasi ini menggunakan sarana yang disebut transponder untuk menyimpan dan mengambil data jarak jauh. Label atau kartu RFID ini dimasukkan di dalam sebuah produk, lewat gelombang radio. Label RFID terdiri atas mikrochip silikon dan antena. Label yang pasif tidak membutuhkan sumber tenaga, sedangkan label yang aktif membutuhkan sumber tenaga untuk dapat berfungsi.

Kelebihan RFID terutama adalah untuk aplikasi pada jenis transaksi cepat, seperti pembayaran untuk jalan tol yang otomatis, pembayaran parkir, dan layanan cepat saji yang ramai.

Di kawasan Asia saja, seperti Hongkong, sudah digunakan Octopus Card sejak 1997 yang menggunakan teknologi RFID. Semula, layanan ini hanya digunakan untuk membayar pada angkutan massal, kemudian berkembang menjadi alat untuk membeli barang pada mesin penjaja, restoran cepat saji, dan pasar swalayan.

Di Singapura digunakan RFID pasif yang dikenal dengan nama kartu EZ-link. Layanan ini digunakan untuk membayar tarif transportasi bus dan kereta api, sedangkan untuk tol digunakan CashCard (RFID aktif). Malaysia juga melakukan hal yang sama untuk kereta api dan bahkan negeri jiran ini mengaplikasikan RFID untuk paspor warga negaranya.

Demikian pula kota seperti Seoul, Korea Selatan, sudah menggunakan kartu T-money untuk pembayaran transportasi umum sejak 1996. Jepang menggunakan super urban intelligent card (SUICa) untuk pembayaran transportasi kereta api.

Penggunaannya Meluas
Secara umum, kartu RFID ada tiga jenis, berupa RFID pasif, semipasif, dan aktif. Disebut pasif karena tidak membutuhkan sumber tenaga secara khusus, menjadi aktif ketika pembaca RFID berada dekat dan memberikan tenaga listrik, sedangkan semi pasif dan aktif memiliki sumber daya khusus, biasanya berupa baterai kecil.

Untuk penggunaan yang lama, seperti kartu pengenal, kartu absensi, dan pengaman barang lebih disukai jenis pasif. Sekalipun tidak memiliki baterai di dalam, arus listrik akan timbul manakala kartu didekatkan dengan pembaca RFID.

RFID reader mengeluarkan sinyal gelombang radio yang menginduksi antena pada kartu RFID. Arus akibat induksi ini cukup untuk menghidupkan rangkaian terintegrasi (IC) jenis CMOS sehingga memberikan respons berupa pancaran gelombang radio.

Ini berarti antena dirancang baik untuk bisa mengumpulkan energi listrik maupun untuk mentransmisikan gelombang radio. Respons berupa nomor identifikasi yang tersimpan dalam chip umumnya yang bisa ditulisi EEPROM untuk menyimpan data.

Kesederhanaan jenis RFID pasif adalah rancangannya sehingga proses pembuatannya bisa melalui proses printing, termasuk bagian antena. Karena tidak ada baterai di dalamnya, bentuknya juga bisa dibuat menjadi sangat kecil sehingga bisa ditanam dalam kertas, stiker, atau bahkan di bawah kulit makhluk hidup (termasuk manusia).

Hitachi, sebuah perusahaan Jepang, pada Februari 2007 memperkenalkan RFID terkecil yang berukuran hanya 0,05 mm x 0,05 mm (tanpa antena). Hitachi u-chip ini mampu mentransmisikan nomor ID unik 128 bit. Prestasi ini merupakan perbaikan RFID pasif sebesar 0,15 mm x 0,15 mm setebal 7,5 mikrometer setahun sebelumnya.

Kelemahan dari semua jenis RFID terutama adalah pada antena yang bentuknya sekitar 80 kali lebih besar dari chip-nya sendiri. Padahal, antena (dan pilihan frekuensi) menentukan seberapa jauh RFID bisa memancarkan frekuensi radio, biasanya paling jauh hanya 10 cm, selain ada juga yang bisa sampai beberapa meter. Sedangkan untuk RFID aktif bisa sampai 500 meter sehingga banyak digunakan untuk pembayaran tol secara otomatis tanpa harus membuka kaca jendela.

Terkait dengan penggunaan frekuensi radio, penerapan RFID juga tidak lepas dari aturan itu. Hanya pada frekuensi rendah (LF) 123-134,2 kHz dan 140-148,5 kHz, maupun frekuensi tinggi (13,56 MHz), RFID bisa digunakan secara bebas tanpa perlu lisensi atau izin. Adapun pada frekuensi ultra tinggi (UHF), dari 868 MHz sampai 928 MHz, tidak bisa digunakan secara global karena tidak ada standar tunggal global pada rentang frekuensi itu.

NFC Lebih Menjanjikan
NFC adalah teknologi komunikasi tanpa kabel dalam jarak dekat yang memungkinkan pertukaran data dalam jarak sekitar 10 cm. Teknologi NFC juga memungkinkan pengguna untuk bertukar file antara perangkat digital, melakukan pembayaran secara wireless atau menggunakan ponsel mereka untuk melakukan pembayaran tiket tranportasi elektronik.

Saat ini dibandingkan RFID, teknologi NFC (Near Field Communication) belum begitu popular. Sejauh ini hanya beberapa perangkat saja yang menggunakan teknologi NFC, tetapi sejumlah vendor besar bersiap untuk mengubah hal ini. Salah satunya Nokia. Pabrikan ponsel terbesar di dunia ini, mengumumkan bahwa semua produk smartphone mereka yang diproduksi mulai tahun 2011 nanti akan dilengkapi dengan teknologi NFC.

Sebelumnya, Nokia telah menunda peluncuran dari ponsel pertama mereka yang menggunakan teknologi NFC yakni Nokia 6216 Classic yang telah diperkenalkan pada bulan April 2009 yang lalu.

Langkah Nokia disambut oleh raksasa search engine, Google, yang kini tengah menguji coba layanan mobile payment berbasis NFC di sejumlah negara bagian di AS. Smartphone Nexus yang dibesut Google, membuat pengguna dapat memanfaatkan fasilitas mobile payment itu.

Dengan keseriusan sejumlah vendor seperti Nokia dan Google untuk mengembangkan NFC, analisa baru menyebutkan permintaan akan NFC akan meningkat secara global hingga menghasilkan revenue sekitar USD75 miliar pada 2013.

Pada segmen mobile payment, Juniper Research mengatakan bahwa terdapat peluang yang signifikan untuk perkembangan layanan mobile payment yang menggunakan teknologi NFC, chip, ponsel dan teknologi lainnya, pada kurun waktu 2011 hingga 2013.

"NFC akan menarik digunakan oleh masyarakat di negara berkembang. Saat ini Jepang telah memimpin layanan mobile payment dengan meluncurkan ponsel berkemampuan NFC bertajuk FeliCa. Langkah ini akan diikuti oleh negara-negara di Amerika Utara, Eropa Barat dan beberapa negara lainnya seperti Korea, Singapura dan Australia," ujar peneliti dari perusahaan riset Juniper.

Juniper memprediksi, transaksi dengan menggunakan NFC di pasar global akan meningkat lima kali lipat antara tahun 2011 dan 2013. Memang untuk saat ini, perangkat NFC masih terbatas, kecuali di negara seperti China. Namun begitu perilaku ini akan berubah secara perlahan dalam kurun waktu 2011 hingga 2013, dimana produksi handset dengan teknologi NFC akan meningkat 20 persen. Artinya satu dari lima ponsel yang beredar di dunia akan dilengkapi dengan teknologi NFC.

Sejauh ini wilayah dengan tingkat pertumbuhan NFC terbesar di antaranya adalah China, Amerika Utara dan Eropa barat. Ketiganya akan memberikan kontribusi pertumbuhan hingga 90 persen dari total USD75 miliar transaksi. Bagaimana dengan Indonesia?

Thursday, April 14, 2011

Maxis Malaysia, Strategi Di Pasar Yang Saturated


Salah satu anggota Bridge Mobile Alliance adalah Maxis. Operator telekomunikasi seluler ini merupakan market leader di Malaysia. Alliance Research menyebutkan, Maxis masih menjadi operator selular terkemuka di Malaysia baik untuk segmen prabayar maupun pascabayar.

Menurut Abigail, staf Maxis, pasar telekomunikasi seluler di Malaysia sudah mencapai tahap saturated. Praktis, di pasar yang sudah jenuh ini sangat sulit bagi operator untuk bisa meningkatkan jumlah customer base-nya. Alhasil, sebagian besar operator akan fokus kepada upaya memaintain revenue di pasar tersebut dengan mempertahankan jumlah pelanggannya melalui pemberian layanan yang mempunyai nilai tambah.

Keikutsertaan Maxis dalam Bridge Mobile Alliance merupakan salah satu upaya untuk memberikan layanan yang bernilai tambah lebih kepada pelanggan existing-nya. Salah satunya adalah dengan menawarkan produk Unlimted Bridge Data Roaming yang diluncurkan November tahun lalu.

Dengan mengikuti keanggotaan Bridge, Abigail mengakui banyak memberikan keuntungan bagi Maxis karena bisa banyak belajar dari operator lain yang notabenenya adalah market leader di masing-masing negara asalnya. Seperti Telkomsel yang merupakan operator terbesar di Indonesia. “Dengan banyak belajar akan menjadikan Maxis lebih kompetitif”, jelas Abigail.

Pertumbuhan bisnis Maxis terbilang cukup bagus. Pada quarter keempat 2010, Maxis berhasil membukukan net profit sebesar US$200 juta yang sebagian besar disumbangkan oleh pertumbuhan layanan akses data dan wireless broadband.

Bahkan pada saat perusahaan telekomunikasi ini kembali melantai di Bursa Malaysia untuk kedua kalinya setelah memutuskan go private beberapa tahun lalu, Maxis mampu mendapatkan penawaran yang terbesar dan disinyalir merupakan rekor dalam sejarah perusahaan telekomunikasi di Asia Tenggara.

Maxis diprediksikan oleh banyak pihak masih memiliki prospek pertumbuhan pada industri telekomunikasi dengan masih banyaknya potensi bagi segmen data dan penerapan pita lebar di Malaysia.

Bridge Mobile Alliance, Aliansi Para Market Leader


Di Indonesia pepatah ringan sama dijinjing berat sama dipikul sangat popular untuk mengidentifikasikan semangat kebersamaan. Segala sesuatu jika dilakukan bersama-sama tentu akan menjadi lebih ringan. Inilah konsep yang diusung Bridge Mobile Alliance dalam memberikan kenyamanan berkomunikasi lintas negara.

Bridge Alliance merupakan aliansi beberapa operator berbagai Negara yang berada di wilayah Asia Pasifik dengan tujuan memberikan pelayanan global dengan lebih baik melalui pengembangan produk dan layanan selular Regional secara bersama-sama dan mengeksplor platform layanan operator telekomunikasi yang kompatibel lintas negara.

Menurut Annie Gan, CEO Bridge Mobile Alliance kegiatan utama aliansi ini adalah mengembangkan sebuah proses koordinasi regional dimana seluruh pelanggan dapat menikmati layanan selular regional yang ditawarkan oleh salah satu operator yang masuk dalam grup Bridge.

Bridge juga menyediakan regional network untuk layanan roaming bagi pelanggan yang sering bepergian ke luar negeri. Menurut Annie, ada ratusan juta orang yang sering melakukan aktivitas travelling di wilayah Asia Pasifik. Hal tersebut menunjukkan adanya potensi untuk mendapatkan revenue dari layanan roaming bagi semua operator.

“Operator telekomunikasi yang tergabung dalam aliansi ini merupakan market leader operator di masing-masing negara asalnya di wilayah Asia Pacific dan tiap negara hanya ada satu operator”, jelas Annie.

Operator yang tergabung menjadi anggota Bridge Mobile Alliance diantaranya adalah Telkomsel (Indonesia) Bharti (India), Globe Telecom (Philippines), Maxis (Malaysia), Optus (Australia), SingTel (Singapore) dan Taiwan Cellular Corporation (Taiwan).

Lebih lanjut, Annie mengatakan bahwa tujuan dari Bridge Mobile Alliance adalah untuk meningkatkan bisnis selular regional dan menawarkan layanan untuk meningkatkan pendapatan dan keuntungan dari seluruh anggotanya. “Dengan membagi risiko dan manfaat di antara mitra, Bridge akan membuat peluang pengurangan akibat adanya duplikasi dan menghindari biaya tinggi yang terjadi bila investasi dilakukan oleh setiap operator sendiri-sendiri. Bridge diharapkan akan menjadi grup multi-market selular terbesar di samping Cina dan Jepang”, ujar Annie.

Dengan kata lain, aliansi ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan komunikasi selular bagi segmen yang sering berpergian agar bisa menikmati layanan yang friendly dengan biaya yang efisien. Pelanggan juga akan merasakan layanan di luar negeri seperti layanan selular di negara sendiri.

Pada awal pembentukannya, yakni 3 Nopember 2004, aliansi ini terlebih dahulu membangun infrastruktur regional yang memungkinkan adanya kemudahan provisioning layanan di regional setempat. Hal ini dimulai melalui kerjasama pembangunan platform layanan dan aplikasi untuk memberikan layanan selular regional.

Selain membantu mengkoordinasi antar anggota terkait adanya roaming issue, Bridge Mobile Alliance juga fokus dalam mengembangkan produk dan service, bukan hanya voice saja tapi juga seperti konten, mobile payment dan layanan VAS lainnya. Belakangan, seiring dengan tren mobile internet, layanan berbasis new business itu menjadi key driver untuk menggenjot pendapatan ditengah kejenuhan pasar.

Sunday, April 10, 2011

Akankah Facebook Mengulang Kegagalan Google?


Belajar dari kasus tersandungnya Google, jejaring sosial nomor satu di dunia, Facebook, mengambil langkah lain untuk masuk ke China. Pendekatan lobby ke elit perusahaan dan pemerintahan, lebih banyak digencarkan oleh sang CEO Mark Zuckerberg. Sebab Negeri Panda ini dikenal sangat ketat dalam mengatur arus informasi, terutama akses internet bagi warganya.

"Saat ini kami masih terus mempelajari China, sebagai bagian dari evaluasi pendekatan yang mungkin dan bisa bermanfaat bagi semua pengguna, developer dan pengiklan," demikian pernyataan Facebook melalui email yang dilansir Bloomberg, Senin (11/4/2011).

Rencana ekspansi ke China memang sudah diketahui sebelumnya. Desember 2010 silam, sang CEO Mark Zuckerberg mengunjungi China dan bertemu perusahaan internet terkemuka di sana, termasuk Baidu yang merupakan mesin pencari lokal, dan Sina perusahaan online advertising. Zuckerberg juga bertemu dengan Wang Jianzhou, Chairman China Mobile, berdiskusi tentang kemungkinan kerjasama di antara keduanya.

RenRen dan Kaixin 001
Kini publik dunia tentu menantikan hasil dari lobby Zuckerberg. Namun, para analis sepakat, diluar produk manufaktur, China adalah pasar yang anomali untuk industri internet. Selain terkenal gemar mengintervensi, pemerintah China yang paranoid dengan jargon perubahan dan revolusi yang sering berawal dari intenet. Itulah sebabnya, China lebih mengutamakan produk lokal. Alhasil, tak hanya Baidu yang jadi batu sandungan Google, jejaring sosial lokal juga lebih diprioritaskan pemerintah China, sehingga tak mudah bagi Facebook untuk menembus tembok ini.

Disana ada dua situs jejaring sosial yang sangat populer dan hampir digunakan oleh mayoritas penduduk China, yakni Renren dan Kaixin 001. Renren yang hadir sejak 2005, menyasar segmen pelajar dan mahasiswa. Sedangkan Kaixin001 yang pertamak kali muncul pada 2008, diminati oleh kalangan muda profesional.

Diantara dua jejaring sosial itu, Renren mungkin penghalang terbesar Facebook. Pasalnya, tampilan Renren adalah copy paste Facebook. Tak hanya arsitektur, desain halaman dan layout, namun warnanya yang dominan biru, membuat pengguna yang pertama kali melihat, mengangap Renren adalah Facebooknya China.

Thursday, April 7, 2011

Menuju Liga Diatas 100 Juta


Agresifitas operator mendorong pertumbuhan pengguna ponsel hingga lebih dari 5 milyar di seluruh dunia. Negara-negara dunia ketiga termasuk kawasan Afrika dan Asia Pasifik menjadi lumbung operator dalam meningkatkan customer base, termasuk Indonesia.

Meski hanya tumbuh satu digit pada 2010, laporan terbaru yang dilansir oleh badan telekomunikasi PBB, ITU, menunjukkan jumlah pelanggan ponsel telah mencapai lebih dari lima miliar. Jumlah itu menunjukkan peningkatan drastis, mengingat pada awal 2000 hanya ada 500 juta pelanggan mobile secara global.

ITU menjelaskan sejumlah kawasan seperti Eropa dan Amerika Utara, mulai menunjukkan tren perlambatan karena pasar yang sudah jenuh terutama di kawasan kawasan Eropa Barat dan Amerika Utara. Alhasil, operator-operator papan atas Eropa terus merangsek ke berbagai belahan dunia lain, seperti Eropa Timur dan Asia Pasifik yang masih menjanjikan pertumbuhan pelanggan.

Dengan strategi aliansi dan akuisisi, operator asal Inggris Vodafone kini melejit ke urutan kedua sebagai pemain terbesar ke dua dunia setelah China Mobile. Posisi Vodafone diikuti berturut-turut oleh operator Eropa lain, yakni Telenor (6), Orange (7), T-Mobile (8) dan Telia Sonera (9).

Menariknya, tak hanya operator asal Eropa yang gemar berekspansi, Bharti asal India juga menjadikan negara-negara disekitarnya termasuk Afrika sebagai basis pertumbuhan pelanggan. Bharti yang sebagian sahamnya dimiliki SingTel dan Vodafone, kini hadir di 12 negara dengan jumlah pelanggan 186 juta.

Bagaimana dengan Indonesia? Telkomsel boleh bangga karena sukses masuk di urutan ke-17. Jumlah pelanggan Telkomsel yang akan mencapai 100 juta pada akhir April 2011, jauh melebihi operator ternama macam NTT DoCoMo Jepang yang hanya duduk di posisi ke-28. Hebatnya lagi, pencapaian tersebut dilakukan Telkomsel di pasar domestik, tanpa harus merangsek ke kawasan regional.

10 Besar Operator Telekomunikasi

1. China Mobile (China) 564.356.000 > China dan Pakistan
2. Vodafone (Inggris) 427.990.000 > 30 negara : Eropa, Asia, Afrika
3. Telefonica (Spanyol) 278.000.000 > 20 negara : Eropa dan Amerika Latin
4. America Movil (Spanyol) 215.060.000 > 16 negara (Amerika Latin, termasuk Amerika)
5. Bharti (India) 186.000.000 > 12 negara (termasuk India, Sri Lanka dan Banglades)
6. Telenor (Norwegia) 184.000.000 > Skandinavia Thailand, Malaysia, Rusia dan Serbia
7. Orange (Perancis) 182.000.000 > 30 negara (Eropa dan Afrika)
8. T-Mobile (Jerman) 150.000.000 > Eropa, Amerika Utara dan Amerika Latin
9. Telia Sonera (Swedia) 143.900.000 > Swedia, Finlandia, Georgia
(Geocell), Moldova (Moldcell) dan beberapa negara di Eropa lainnya.
10.China Unicom (China) 156.000.000 > China

Sumber : Wireless Inteligence 2010

Monday, April 4, 2011

Bundling Jadi Pendorong Co-Creation


Pekan lalu (31/3), lembaga yang saya dirikan The Wireless Network, menggelar Bincang Selular yang mengusung tema "Tren Bundling Sebagai Strategi Mengatasi Kejenuhan Pasar". Diskusi ini menghadirkan tiga pembicara, yakni Vice President Channel Management Telkomsel Gideon Edi Purnomo, Chief Marketing Officer DRTV Teddy Tjan, dan pengamat marketing Yuswohady. Saya sendiri, bertindak sebagai moderator pada acara yang berlangsung di FX Music, Fx Plaza, Sudirman.

Diskusi ini mendapat respon yang baik dari media. Puluhan jurnalis, baik cetak, online, maupun elektronik menyempatkan diri hadir termasuk tim E-Life Style Metro TV. Padahal di hari yang sama, terdapat tiga undangan sejenis, masing-masing dari Bakrie Telecom, Lenovo Mobile dan Qualcomm.

Disela-sela rehat, saya sempat bertanya kepada salah seorang jurnalis, kenapa lebih memilih untuk datang di acara yang saya gagas itu, tidak ke tetangga sebelah. Jawabannya, ternyata sesuai dengan prediksi saya, yakni para jurnalis lebih menyukai tema yang tengah 'in'. Mereka dapat memperoleh tambahan informasi, tentang isu yang tengah hangat dari para praktisi yang tampil independen dengan latar belakang berbeda. Sementara acara lain, umumnya lebih bersifat seremoni, sehingga komunikasi cenderung bersifat on way, bahkan tak jarang jadi 'jualan' semata.

Terlepas dari motivasi itu, diskusi memang berlangsung hangat. Terlebih Yuswohady melemparkan pandangan yang kritis. Alumnus Markplus ini, menilai tren bundling yang marak saat ini tak lebih dari sekedar bungkus alias gimmick pemasaran. Faktanya, bundling menjadi arena baru setelah era price war, dimana voice dan SMS menjadi bagian dari handset yang dijual.

Ia mengingatkan, jika ingin bertahan, ke depan para operator harus menjadikan content dan aplikasi sebagai basis revenue dengan mendorong masyarakat lebih banyak memanfaatkan layanan mobile broadband. Layanan berbasis VAS itu, akan menjadi diferensiasi sekaligus keunggulan suatu operator atas operator lainnya. Ia mengharapkan, tren bundling dapat mendorong kolaborasi atau co-creation di era customer 3000 yang cenderung semakin connected, high buyng power dan knowledgable.

Gideon Purnomo mengamini pernyataan Yuswohady itu. Ia mengakui, pola bundling yang saat ini marak masih belum menjamin kepentingan operator seratus persen. Karena, setelah sekian waktu, tiga atau enam bulan, bundling berbasis basic service itu akan tuntas dan pelanggan bisa berpindah ke operator lain.

Oleh karena itu, dalam menyiapkan produk bundling, Telkomsel yang kini memiliki 97 juta pelanggan, tidak mau sekadar menitipkan kartu perdana di dalam ponsel, tetapi sekaligus menanamkan aplikasi yang sudah dikustomisasi sesuai kebutuhan pelanggan.

Untuk meningkatkan value added, dalam konsep bundling ini, Telkomsel juga memasukkan aplikasi dalam bentuk launcher, misalnya Love Indonesia untuk produk bundling BlackBerry.

"Ke depannya, kita juga berusaha agar bundling ini tidak hanya sekadar Telkomsel menitipkan kartu kepada penyedia handset tapi bagaimana memudahkan pelanggan dalam mengakses layanan Telkomsel, terutama layanan baru yang bersifat VAS", jelasnya.

Market Leader
Strategi bundling telah dijalankan oleh Telkomsel sejak tahun 2006 ketika layanan broadband mulai diluncurkan. Hingga saat ini terdapat puluhan produk dan layanan bundling yang telah diluncurkan oleh Telkomsel dan menuai sukses. Gideon memperkirakan, 70 persen pasar produk bundling dikuasai Telkomsel.

Keberhasilan ini tak terlepas dari kepekaan Telkomsel memahami kebutuhan pasar dan tren yang sedang berlangsung di masyarakat. ''Jadi kita melakukan analisa, melihat kebutuhan pasar, mengukur kemampuan ke dalam, sebelum meluncurkan program,'' ungkap Gideon.