Monday, April 4, 2011
Bundling Jadi Pendorong Co-Creation
Pekan lalu (31/3), lembaga yang saya dirikan The Wireless Network, menggelar Bincang Selular yang mengusung tema "Tren Bundling Sebagai Strategi Mengatasi Kejenuhan Pasar". Diskusi ini menghadirkan tiga pembicara, yakni Vice President Channel Management Telkomsel Gideon Edi Purnomo, Chief Marketing Officer DRTV Teddy Tjan, dan pengamat marketing Yuswohady. Saya sendiri, bertindak sebagai moderator pada acara yang berlangsung di FX Music, Fx Plaza, Sudirman.
Diskusi ini mendapat respon yang baik dari media. Puluhan jurnalis, baik cetak, online, maupun elektronik menyempatkan diri hadir termasuk tim E-Life Style Metro TV. Padahal di hari yang sama, terdapat tiga undangan sejenis, masing-masing dari Bakrie Telecom, Lenovo Mobile dan Qualcomm.
Disela-sela rehat, saya sempat bertanya kepada salah seorang jurnalis, kenapa lebih memilih untuk datang di acara yang saya gagas itu, tidak ke tetangga sebelah. Jawabannya, ternyata sesuai dengan prediksi saya, yakni para jurnalis lebih menyukai tema yang tengah 'in'. Mereka dapat memperoleh tambahan informasi, tentang isu yang tengah hangat dari para praktisi yang tampil independen dengan latar belakang berbeda. Sementara acara lain, umumnya lebih bersifat seremoni, sehingga komunikasi cenderung bersifat on way, bahkan tak jarang jadi 'jualan' semata.
Terlepas dari motivasi itu, diskusi memang berlangsung hangat. Terlebih Yuswohady melemparkan pandangan yang kritis. Alumnus Markplus ini, menilai tren bundling yang marak saat ini tak lebih dari sekedar bungkus alias gimmick pemasaran. Faktanya, bundling menjadi arena baru setelah era price war, dimana voice dan SMS menjadi bagian dari handset yang dijual.
Ia mengingatkan, jika ingin bertahan, ke depan para operator harus menjadikan content dan aplikasi sebagai basis revenue dengan mendorong masyarakat lebih banyak memanfaatkan layanan mobile broadband. Layanan berbasis VAS itu, akan menjadi diferensiasi sekaligus keunggulan suatu operator atas operator lainnya. Ia mengharapkan, tren bundling dapat mendorong kolaborasi atau co-creation di era customer 3000 yang cenderung semakin connected, high buyng power dan knowledgable.
Gideon Purnomo mengamini pernyataan Yuswohady itu. Ia mengakui, pola bundling yang saat ini marak masih belum menjamin kepentingan operator seratus persen. Karena, setelah sekian waktu, tiga atau enam bulan, bundling berbasis basic service itu akan tuntas dan pelanggan bisa berpindah ke operator lain.
Oleh karena itu, dalam menyiapkan produk bundling, Telkomsel yang kini memiliki 97 juta pelanggan, tidak mau sekadar menitipkan kartu perdana di dalam ponsel, tetapi sekaligus menanamkan aplikasi yang sudah dikustomisasi sesuai kebutuhan pelanggan.
Untuk meningkatkan value added, dalam konsep bundling ini, Telkomsel juga memasukkan aplikasi dalam bentuk launcher, misalnya Love Indonesia untuk produk bundling BlackBerry.
"Ke depannya, kita juga berusaha agar bundling ini tidak hanya sekadar Telkomsel menitipkan kartu kepada penyedia handset tapi bagaimana memudahkan pelanggan dalam mengakses layanan Telkomsel, terutama layanan baru yang bersifat VAS", jelasnya.
Market Leader
Strategi bundling telah dijalankan oleh Telkomsel sejak tahun 2006 ketika layanan broadband mulai diluncurkan. Hingga saat ini terdapat puluhan produk dan layanan bundling yang telah diluncurkan oleh Telkomsel dan menuai sukses. Gideon memperkirakan, 70 persen pasar produk bundling dikuasai Telkomsel.
Keberhasilan ini tak terlepas dari kepekaan Telkomsel memahami kebutuhan pasar dan tren yang sedang berlangsung di masyarakat. ''Jadi kita melakukan analisa, melihat kebutuhan pasar, mengukur kemampuan ke dalam, sebelum meluncurkan program,'' ungkap Gideon.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment