Monday, October 31, 2011

Harley Davidson (1), Hikayat Motor Perang Dari Milwaukee


Dikalangan bikers Harley Davidson (HD), ada pemeo menarik, “There are two types of riders in this world, one who ride a Harley and one who dream to ride a Harley”. Dari tamsil itu, bisa dibayangkan betapa hebatnya sihir HD sehingga membuat banyak orang terpana. Mengapa HD punya pesona yang begitu kuat? Inilah sekelumit ceritanya.

Pada 1903, ditahun yang sama saat Henry Ford mendirikan Ford Motor Company dan pesawat pertama sukses diterbangkan oleh Wright bersaudara, William Harley bersama dua teman kakak beradik Arthur dan Walter Davidson, mendirikan perusahaan yang mereka beri nama Harley Davidson Motor Company (HDMC) di Milwaukee.

Karya perdana ketiga sahabat itu adalah sepeda motor bermesin silinder tunggal. Kehadirannya langsung menyedot perhatian, karena desainnya cantik dan berdaya tahan tinggi pada masa itu. Dua elemen penting tersebut, mampu membedakan HD dengan motor-motor sejenis yang mulai berseliweran menggantikan kuda sebagai tunggangan masyarakat AS.

Dengan animo pasar yang kuat, perkembangan HDMC dirasa semakin pesat, apalagi setelah mereka membuka distributor pertama di Chicago di tahun yang sama. Hanya dua tahun kemudian, yakni 1905, mereka telah mampu memproduksi 11 buah motor dan terus berkembang. Lima tahun selanjutnya, HDMC sukses memproduksi 154 motor. It’s fantastic. Karena dimasa itu, teknologi pembuatan motor bisa dibilang masih dalam tahap permulaan.

Milestone selanjutnya yang dicapai oleh HDMC adalah dibenamkannya teknologi mesin terbaru. Tepatnya pada 1909, ketika Bill Harley sukses membuat mesin V-Twin yang legendaris berkapasitas 1000 cc. Mesin ini terbilang galak pada jamannya, karena bisa menghasilkan kekuatan sebesar 7 Hp (tenaga kuda). Mesin V-Twin 45 derajat menjadi salah satu ciri khas produk HD dari dulu sampai sekarang.

Selanjutnya, pada 1910, sebagai bagian dari identitas merek yang kuat, mereka mulai menyematkan logo legendaris berupa “Bar and Shield” yang kelak menjadi logo kebanggan HD hingga saat ini.

Konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Eropa, justru menjadi titik kebangkitan HD. Nama HD mulai berkibar saat pemerintah Amerika memakai hampir 20.000 HD sebagai armada perang pasukannya saat berkecamuk Perang Dunia I.

Kemasyhuran HD semakin meningkat saat meluasnya Perang Dunia II. Hampir semua armada perang Amerika dan juga pasukan sekutu memakai motor ini sebagai tunggangan para jenderal maupun prajurit yang berperang di seantero dunia. Hal itu dengan sendirinya memacu produksi dan penjualan HD secara signifikan.

Praktis, setelah perang berakhir, kini dihampir seluruh penjuru dunia kita bisa menemukan HD. Meski produsen lain, termasuk Jepang semakin massif menyerbu pasar, hal itu tidak mengurangi popularitas HD. Hebatnya, nama HD sering dikaitkan dengan master-piece karena desain dan teknologi mesin yang klasik, namun tetap menarik. Apalagi kalangan selebrities mulai melirik HD sebagai bagian dari personality dan gaya hidup mereka.

Monday, October 24, 2011

Kisah Panasonic (2), “Lompatan Yamashita”


Selain Konosuke Matsushita, kesuksesan Panasonic tidak lepas dari tangan dingin Toshiko Yamashita, sang penerus yang berasal dari kalangan profesional.

Kurun 1960-1970-an, Kondisi Panasonic sesungguhnya tidak menggembirakan. Keadaan itu memaksa Konosuke mengambil keputusan drastis, meski bertentangan dengan tradisi.


Pada Februari 1977, pendiri Panasonic itu menunjuk Toshiko Yamashita, seorang anggota muda dewan perusahaan sebagai Presiden. Di Jepang, negeri yang mengagungkan senioritas, menaikkan direktur muda ke jabatan setinggi itu benar-benar belum pernah terjadi sebelumnya. Dan tentu saja, sangat kontroversial.

Keputusan yang oleh media Jepang disebut sebagai “Lompatan Yamashita” (seperti lompatan seorang atlet senam Jepang yang meraih medali emas Olimpiade) itu, pada awalnya menimbulkan keraguan, bukan hanya publik, karyawan dan stakeholder lainnya, namun juga pada diri yang bersangkutan. Namun seiring dengan tantangan dan kepercayaan yang diberikan Konosuke, Yamashita menerima tantangan tersebut dan membuktikannya dengan prestasi gemilang.

Keberaniannya mengambil keputusan penting, dibarengi dengan inovasi-inovasi membuat Yamashita yang lahir pada Juli 1919 di Nishidoa, jantung kota Osaka, menjelma menjadi pemimpin yang disegani. Salah satu langkah berani yang ditempuh Yamashita adalah keputusan menyangkut pengembangan VCR (video cassette recorder) pada pertengahan 1976.

Seperti kita ketahui, tahun itu adalah puncak perseteruan dua kubu, yakni VHS dari Panasonic dan Betamax dari Sony. Kedua sistem ini berkompetisi keras dan saling menjatuhkan. Setelah pasar domestik, keduanya melirik peluang di belahan dunia lain, terutama AS. Baik VHS maupun Betamax menilai pasar AS bukan sekedar gemuk tapi sangat strategis. Sebagai pusat industri entertaiment, siapa menguasai AS, berpeluang menguasai pasar global. Tak heran sistem yang akan mendominasi AS, berarti juga menguasai pasar dunia yang bernilai milyaran dollar.

Saat itu, Zenith perusahaan elektronik AS, telah menggandeng Betamax. Jika Panasonic tidak segera menggandeng RCA yang merupakan pesaing Zenith, maka pasar AS akan lenyap. Dengan demikian, tidak berlebihan jika Yamashita bilang, masa depan Matsushita ada di VCR.

Namun bagaimana cara mengatasi Betamax? Yamashita berpikir keras. Tak dapat dibantah, dalam hal pengembangan produk, Sony berada di depan Panasonic. VCR besutan Sony memiliki kapasitas perekaman hingga dua jam. Wajar jika Zenith memilihnya karena merupakan waktu terlama saat itu. Sayangnya, di Matsushita, saat itu prototipe produk sejenis dengan durasi rekam yang sama belum siap diproduksi. Untuk bisa berhasil di pasar AS sekaligus mengungguli Betamax, sebuah produk VCR harus mampu merekam olahraga yang panjang, seperti pertandingan football NFL yang merupakan olahraga favorit warga Paman Sam.

Yamashita pun melakukan perundingan dengan RCA dan tahu bahwa mereka menginginkan mesin yang merekam lebih lama dibandingkan Betamax. Umpan itu langsung ditangkap oleh Yamashita. Tanpa berpikir panjang, ia bilang “Matshusita dapat memasok Anda dengan VCR empat jam”.

Dan, hasilnya adalah penandatangan kontrak dua perusahaan untuk mengirimkannya. Namun diakui oleh Yamashita, keputusan itu adalah langkah spekulasi yang terburu-buru, karena pihaknya belum memproduksi VCR dua jam bahkan blueprint untuk empat jam pun belum punya.

Tentu saja, kondisi ini menjadi polemik di tubuh manajemen Panasonic. Disinilah kepemimpinan yamashita diuji. Dengan gamblang ia menerangkan situasi itu kepada para eksekutif senior. Yamashita menjelaskan bahwa tindakannya memang berbahaya. “Tapi saya ingin menyerbunya. Apabila kita menyerah, maka berakhir pula Matsushita dengan VCR-nya. Meskipun resikonya sangat besar, tetapi kita punya kesempatan yang bagus untuk sukses. Ini merupakan sesuatu yang sangat sulit, tapi saya ingin agar Anda membuat mesin itu”, ungkap Yamashita dalam memoarnya di buku “Gaya Panasonic”.

Pasca keputusan itu, pada akhirnya divisi VCR menjadi neraka hidup. Nasib Matsuhita dipertaruhkan sehingga seluruh energi perusahaan dimobilisasi agar proyek itu dapat terwujud. Para karyawan kunci dari divisi-divisi lain, laboratorium riset dan perusahaan-perusahaan lain yang berafiliasi turut membantu. Bak kisah Lara Jonggrang dan Bandung Bondowoso, para karyawan fokus untuk menghasilkan produk sesuai dengan pesanan sesuai tenggat yang telah ditetapkan. Mereka makan, minum dan tidur hanya empat jam untuk VCR.

Hasilnya, secara ajaib, Matsushita dapat memenuhi batas kontrak. Dan yang paling penting, spekulasi tersebut mendatangkan keuntungan yang lebih besar, yakni kalahnya Sony Betamax dan bagian pasar VCR yang langsung menggelembung bagi Matsushita. Inilah blessing in disguise yang pada akhirnya semakin memantapkan posisi Panasonic sebagai kampiun elektronik global.

Sembilan tahun kepemimpinan Yamashita di Matsushita ditandai dengan sejumlah milestone penting. Tak hanya reorganisasi yang sempurna, namun juga revitalisasi perusahaan dan pengembangan korporasi yang sukses ke berbagai bidang baru, baik di Jepang maupun manca negara.

Tak berlebihan jika menyebut Panasonic identik dengan Konosuke Matsushita dan Toshihiko Yamashita. Keduanya memiliki gaya kepemimpinan yang nyaris sama. Tidak takut membuat keputusan, dan mungkin yang lebih penting - cepat mengakui dan mengoreksi kesalahan.

Kisah Panasonic (1), Raksasa Dari Soket Listrik


Tak berlebihan jika Panasonic adalah potret kehidupan dari sang pendirinya, Konosuke Matsushita. Namun sebelum meraih sukses, ia dan keluarga harus bertahan hidup. Matsushita bahkan harus pontang-panting membantu ekonomi keluarga dengan bekerja apa saja termasuk menjadi penjaga toko.

Perjalanan seribu langkah dimulai dari satu langkah. Pepatah China ini cocok untuk mengibaratkan kisah sukses Panasonic. Sejak didirikan pada 1918 oleh Konosuke Matsushita, Panasonic menjelma menjadi raksasa elektronik dunia. Kini dengan jumlah pekerja mencapai 500 ribu orang yang tersebar di 384 anak perusahaan di seluruh dunia, Panasonic adalah perusahaan langganan Fortune 500. Pada 2003 saja, total asset Panasonic mencapai US$ 61,6 milyar, sehingga merupakan ketiga terbesar di dunia untuk katagori consumer electronic dan electrical equipment.

Namun kisah sukses Panasonic, sungguh kontras dengan kehidupan awal sang pendirinya. Lahir pada 27 November 1894, di sebuah desa kecil di selatan Osaka, Konosuke seharusnya tidak perlu berjibaku mengarungi hidup, jika saja ayahnya yang hanya memiliki sedikit lahan pertanian tidak salah langkah. Hingga usia delapan tahun, Konosuke masih menikmati cerianya masa kanak-kanak. Namun kehidupan keluarganya berbalik 180 derajat, saat ayahnya jatuh miskin karena spekulasi di pasar komoditas.

Alhasil, hari-hari berat Konosuke pun dimulai, saat keluarganya memutuskan pindah ke sebuah rumah yang lebih kecil di kota Osaka. Namun Konosuke tidak mau berpangku tangan. Untuk membantu ekonomi keluarga, Konosuke kecil bekerja apa saja termasuk pekerjaan paruh waktu, yakni menjadi pelayan toko yang menjual kompor arang.

Pekerjaan itu ia lakoni hingga ia bisa menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar.
Pada usia sembilan tahun, Konosuke membuat keputusan penting yang kelak mengubah jalan hidupnya. Ia pamit pada sang ibu menuju stasiun KA. Tujuannya hanya satu, mencari peruntungan di kota besar, Osaka.

Meski sudah tinggal lama di Osaka, nyatanya hingga usia 15 tahun, kehidupan Konosuke masih terbilang morat-marit. Namun keputusanya bergabung dengan Osaka Electric Light Company (OELC) pada 1910, mulai mengubah jalan hidupnya. Dengan karir yang cepat menanjak, hingga mencapai posisi supervisor, Konosuke sebenarnya punya masa depan cerah di perusahaan ini. Namun semangat menjadi pengusaha, membuatnya rela meninggalkan OELC.

Pada 1917, ia membuat keputusan penting ketiga dalam hidupnya. Bersama tiga orang rekannya, Konosuke memulai industri rumahan yang memproduksi soket listrik. Dengan seluruh simpanan yang hanya berjumlah kurang dari 100 yen, Konosuke memulai perjudian hidup paling dramatis.

Namun siapa sangka, setelah jatuh bangun, hampir seabad kemudian, dari soket listrik itulah nama Panasonic berkibar menjadi produsen elektronik papan atas. Mendiang Konosuke pun tersenyum puas.

Wednesday, October 19, 2011

Penghentian SMS Premium, Babak Baru Perbaikan Industri Konten


Selain isu reshuffle kabinet, yang hasilnya sudah kita ketahui bersama, Oktober ini masyarakat dihebohkan oleh persoalan SMS sedot pulsa yang dilakukan oleh para content provider. Tak mau terus menjadi sasaran tembak, akhirnya seluruh operator selular lebih memilih untuk mematuhi surat edaran yang dikeluarkan oleh BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia). Dalam surat yang diedarkan oleh BRTI, 10 operator telekomunikasi diperintahkan untuk melakukan deaktivasi/unregistrasi paling lambat Selasa tengah malam per tanggal 18 Oktober 2011.

Penghentian ini berlaku untuk semua layanan jasa pesan premium, kecuali untuk public services dan fasilitas jasa keuangan serta pasar modal, dengan memberikan notifikasi deaktivasi dan informasi cara registrasi ulang bagi pengguna yang berminat tanpa dikenakan biaya apapun.

Penghentian penawaran SMS premium ini akan dilakukan sampai batas waktu yang belum ditentukan. Operator kemudian akan lebih menyempurnakan sistem kerja ataupun perjanjian SMS premium dengan para content provider (CP). "Biasanya kendala SMS premium itu ada di masalah teknis, seperti sulitnya unreg. Itulah yang coba kami sempurnakan," jelas Ketua ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Selular) Sarwoto Atmosutarno.

Sarwoto menambahkan, sistem kerja antara pihak operator dengan CP nantinya akan disesuaikan dan dimasukkan dalam surat perjanjian kerja sama. Kasus pencurian pulsa pelanggan belakangan menjadi pokok pemberitaan media massa karena banyaknya laporan dari konsumen yang mengaku pulsa berkurang secara tiba-tiba tanpa melakukan aktivasi berlanggan layanan seluler tertentu.

Menurut Sarwoto yang juga Direktur Utama PT Telkomsel ini, operator juga diwajibkan membuka nomor yang dapat diakses konsumen untuk menghentikan layanan atau unreg layanan, selain juga menyiapkan "call center" sehingga memudahkan pelanggan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. "Prosedur berlangganan terus dievaluasi agar bagaimana konsumen dapat dengan mudah berhenti berlangganan semudah ketika si pelanggan mendaftar layanan tertentu," tegasnya.

Ia mengakui saat ini ATSI telah mengidentifikasi bahwa dari sekitar 400 mitra CP baik berasal dari dalam negeri maupun konten asing. Sebanyak 60 CP diantaranya diketahui bermasalah atau disebut "nakal" telah di masuk daftar hitam. "Kita (operator) juga berkomitmen meninjau kembali kerja sama dengan CP, mengawasi dan menyempurnakan sistem konten layanan," tegasnya.

Nah, merujuk pada komitmen ATSI seperti yang disampaikan oleh Sarwoto itu, dapat dipastikan industri selular kini tengah bersiap menata ulang kerjasama yang selama ini sudah dijalin dengan para CP.

Ditengah stagnannya revenue dari SMS dan voice, operator tentu sangat berkepentingan dalam memajukan industri konten, karena pertumbuhannya yang luar biasa masif, mencapai 30 persen per tahun. Saat ini diketahui, omzet industri konten mencapai Rp 4,8 triliun per bulan. Dihentikannya layanan SMS premium untuk sementara waktu memang merugikan para CP, terutama mereka yang tidak melakukan praktek-praktek kotor dalam bisnisnya.

Ke depan, untuk menghindari kasus yang sama berulang, diperlukan edukasi dua sisi yaitu pelaku industri maupun konsumen, dengan cara sosialisasi produk yang ditawarkan dan tidak memberlakukan aturan berlebih seperti konfirmasi berulang kali dalam membeli suatu produk, serta kemudahan saat konsumen menghentikan langganan.
Disisi lain, BRTI selaku wasit dalam industri telekomunikasi harus meningkatkan pengawasan dan bersikap tegas dengan mencabut ijin operasi layanan Jasa Pesan Premium jika terbukti melakukan pelanggaran ketentuan yang berlaku.

Namun untuk melaksanakan kebijakan tegas itu, Kemenkominfo perlu merevisi Peraturan Menteri Kominfo No 1 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium dan Pengiriman Pesan Singkat ke Banyak Tujuan (Broadcast) yang dinilai masih lemah. Permen Kominfo itu tidak menjelaskan tata cara melakukan unreg kepada pelanggan. Bahkan saat melakukan unreg juga tidak dijelaskan kalau SMS balasan seusai melakukan unreg mendapat potongan pulsa. Celah inilah yang dimanfaatkan operator dan untuk menyedot pulsa pelanggan.

Thursday, October 13, 2011

Teguh Juwarno dan Momentum Perbaikan Industri Telekomunikasi


Ada yang istimewa saat saya mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi I DPR dengan jajaran Kominfo, BRTI, operator dan content provider (10/10), membahas persoalan SMS sedot pulsa yang kini telah menjadi isu nasional.

Ya, setelah sekian lama tidak bersua, saya berjumpa dengan sahabat lama Teguh Juwarno. Pria yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu penyiar di RCTI itu, kini berkarir sebagai politisi. Sebagai anggota DPR periode 2009 - 2014, jabatannya adalah Wakil Sekjen PAN.

Seperti penampilan-penampilan sebelumnya, Teguh yang dikenal sebagai politisi muda yang kritis, juga menunjukkan pandangan yang tajam saat RDP berlangsung. Ia tidak segan-segan mengkritik habis Menkominfo Tifatul Sembiring dan jajaran BRTI karena tidak menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan yang maksimal meski sudah dibekali oleh undang-undang. Teguh juga meminta operator dan content provider, menghentikan praktek busuk yang diperkirakan menggerus duit masyarakat triliunan rupiah setiap tahun.

Setidaknya ada empat tuntutan yang disampaikan Teguh dalam forum itu. Empat tuntutan tersebut adalah moratorium atau penghentian sementara layanan, keterbukaan informasi menyangkut content provider (CP) yang selama ini bermitra dengan operator, pembinaan CP dan tindakan tegas berupa punishment kepada CP-CP yang terbukti nakal, dan pengembalian (restitusi) atau ganti rugi kepada para pelanggan yang selama ini menjadi korban dari layanan SMS tersebut.

Teguh menilai, kasus SMS sedot pulsa merupakan puncak dari permasalahan yang selama ini menjerat industri telekounikasi. Faktanya, jumlah operator yang begitu banyak, hingga 12 operator, membuat iklim kompetisi menjadi tidak sehat, sehingga berujung pada praktek-praktek yang tidak sehat dan merugikan konsumen, seperti pada merebaknya kasus SMS ini.

Teguh juga menyoroti liberalisasi industri telekomunikasi yang kebablasan, sehingga menambah karut marut struktur industri ini. Seperti diketahui, hampir semua kepemilikan operator nasional didominasi asing. Indosat (Qatar Telecom 90 persen), Telkomsel (SingTel 35 persen), XL Axiata (Axiata Berhard Malaysia 80%), Axis (Saudi Telecom 90%), dan Tri (Hutchison CP Hong Kong 80%).

Itu sebabnya, imbuh Teguh, Panja yang akan dibentuk DPR akan menelanjangi banyak hal
yang selama ini kerap ditutup-tutupi oleh para pemain dan regulator. Ia berharap, kasus SMS sedot pulsa menjadi momentum bagi pemerintah dan pihak-pihak terkait, untuk segera memperbaiki iklim industri telekomunikasi yang selama ini lebih mementingkan pemilik pemodal, sehingga masyarakat tidak lagi menjadi sapi perahan. Semoga.