Monday, October 26, 2009

Segudang Tantangan Menteri ESDM Baru


Saat ini energi merupakan persoalan yang krusial didunia. Peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk dan menipisnya sumber cadangan minyak dunia serta permasalahan emisi dari bahan bakar fosil, memberikan tekanan kepada setiap negara untuk segera memproduksi dan menggunakan energi alternatif dan terbarukan. Selain itu, peningkatan harga minyak dunia yang sempat mencapai mencapai 100 U$ per barel pada 2007 juga menjadi alasan yang serius yang menimpa banyak negara di dunia terutama Indonesia.

Lonjakan harga minyak dunia akan memberikan dampak yang besar bagi pembangunan di Indonesia. Konsumsi BBM yang mencapai 1,3 juta/barel tidak seimbang dengan produksinya yang nilainya sekitar 1 juta/barel sehingga terdapat defisit yang harus dipenuhi melalui impor. Menurut data ESDM (2006) cadangan minyak Indonesia hanya tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila terus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan minyak ini akan habis dalam dua dekade mendatang.

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak pemerintah telah menerbitkan Peraturan presiden republik Indonesia nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif dan terbarukan sebagai pengganti bahan bakar minyak. Saat ini sekitar 52% sumber energi dalam negeri masih dipenuhi oleh BBM, 28% gas bumi, 15% batu bara, 3% tenaga air dan 2% panas bumi.

Meski menghadapi beragam tantangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa sektor energi migas masih akan memberikan kontribusi yang besar bagi Indonesia. Kementrian itu menargetkan investasi sektor energi dalam lima tahun ke depan mencapai US$ 34,55 miliar. Jumlah ini meningkat 50,2% dibanding proyeksi investasi energi tahun ini, sekitar US$ 23 miliar. Rincian targetnya, pada 2014, investasi sektor migas sebesar US$ 19,19 miliar, sektor listrik sebesar US$ 7,89 miliar, dan sektor pertambangan umum US$ 7,47 miliar.

Menurut road map Kementerian ESDM, pemerintah menargetkan produksi minyak mentah dan kondensat pada 2014 mencapai 1,01 juta barel per hari (bph). Jumlah ini meningkat 5,25% dari target tahun sekarang yang sebesar 960.000 bph. Sedangkan produksi gas pada 2014 diharap mencapai 1,633 juta bph. Adapun investasi sektor listrik meningkat karena percepatan megaproyek 10.000 Megawatt (MW). Khusus untuk sektor ini, investasi di panas bumi akan dominan selama 2011-1014. Proyek pembangkit panas bumi ditargetkan mencapai 48% atau 4.733 MW dari total megaproyek.

Sementara itu investasi pertambangan menjadi sektor yang tidak kalah menariknya. Sektor ini masih akan mencatat investasi yang terus meningkat selama 2010-2014. Batubara diproyeksikan menjadi primadona dengan target produksi mencapai 309 juta ton.

Investasi Rendah
Direktur Center for Petroleum and Energy Economic Studies (CPEES), Kurtubi, menyebutkan bahwa meski ditargetkan mengalami peningkatan, faktanya selama 10 tahun terakhir, produksi minyak nasional turun drastis dan tidak pernah menyentuh level 1 juta barrel per hari (bph). Padahal, cadangan minyak nasional masih bisa digenjot ke level 1 juta bph tersebut, jika ada pembenahan yang serius dari sistem perminyakan, birokrasi dan perpajakan.

Di lain pihak, Indonesia juga terus merugi akibat harga jual gas alam cair (liquifield natural gas/LNG) yang rendah. Harga LNG yang diekspor seharusnya dapat dinegoisasi sesuai dengan harga pasar saat ini sehingga menguntungkan. Meski dieskpor, pemenuhan gas domestik tidak boleh diabaikan. Sebagai komoditas strategis, tambah Kurtubi, gas harus diprioritaskan untuk pasar dalam negeri, setelah itu baru diekspor.

Kurtubi juga menilai bahwa rendahnya minat investasi di sektor migas akhir-akhir ini karena besarnya resiko yang ditanggung investor. ”Saat ini investasi hanya bergantung pada injeksi modal dari perusahaan tambang yang sudah beroperasi”, ujarnya. Salah satu penyebabnya karena minimnya informasi data tender wilayah migas. Padahal dengan data wilayah yang lengkap, resiko itu bisa diprediksi dan diminimalisasi.

Permasalahan lain yang membuat arus investasi di sektor migas menjadi tersendat, adalah karena iklim investasi di Indonesia yang belum kondusif, terutama menyangkut kepastian regulasi dan sinkronisasi kebijakan antar birokrasi di pemerintahan. Untuk itu Menteri baru diharapkan dapat menyederhanakan rantai birokasi dan meningkatkan koordinasi antar instansi, seperti dengan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Badan Pengatur Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

Kebijakan Subsidi
Kebijakan energi nasional selama ini memang identik dengan subsidi. Namun banyak kalangan menilai, subsidi di masa depan harus lebih terarah sehingga dapat mendukung program efisiensi energi.

Terkait dengan kebijakan subsisi, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Widjajono Partowidagdo, menilai bahwa bahwa di masa depan harga BBM dan tarif dasar listrik (TDL) perlu dirasionalisasi. ”Harga dua energi primer itu tidak bisa terus menerus bergantung pada subsidi sehingga dijual murah”, ujarnya. Harga BBM harus dinaikan, imbuh Partowidagdo, sekurangnya mendekati harga pasar, dan kalangan masyarakat tidak mampu diberi subidi langsung.

Hal yang sama juga harus ditempuh di sektor ketenagalistrikan. Widagdo menyebutkan bahwa ada manfaat ganda dari rasionalisasi harga BBM, yakni subsidi dapat dikurangi, konsumsi dapat ditekan, dan dilain pihak harga energi alternatif berbasis energi terbarukan bisa bersaing secara bisnis. ”Postur TDL saat ini sangat tidak mendukung pengembangan energi terbarukan, seperti panas bumi, gas dan batu bara. Karena itu TDL harus disesuikan dengan kemampuan pelanggan dan tidak bisa dipatok jauh dibawah biaya produksi listrik”, tukas guru besar ITB itu.

Sebelumnya, Presiden SBY dalam pidato nota keuangan di gedung DPR/MPR (3/8/2009), menjelaskan bahwa total alokasi subsidi pada 2010 mencapai Rp 144,4 triliun atau 14,3 persen dari total APBN 2010. Distribusi subsidi akan dilakukan secara tertutup hanya bagi rumah-tangga sasaran, sektor prioritas dan pelayanan umum dengan sistem distribusi tertutup.

"Pemerintah akan membuat desain awal bagi kebijakan jangka menengah yang meliputi pengalihan secara bertahap subsidi harga (BBM, Listrik dan Pangan) kepada subsidi tepat sasaran. Kedua, membatasi pengguna subsidi hanya kepada rumah-tangga sasaran, sektor prioritas dan pelayanan umum dengan sistem distribusi tertutup," katanya.

No comments: