Thursday, October 22, 2009

Sampai Kapan Indonesia Harus Impor Sapi?


Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II baru saja dibentuk. Seperti sudah diduga sebelumnya, banyak muka-muka baru yang menghiasi jajaran pemerintahan SBY untuk periode kedua (2009-2014). Salah satunya adalah kementerian pertanian. Kader PKS, Suswono kini diberi kesempatan untuk menggantikan pejabat lama Anton Apriantono.

Tidak seperti kementrian kesehatan yang banyak memunculkan kontroversi, terkait penunjukkan Endang Rahayu Sedyaningsih yang dinilai pro AS, penunjukkan Suswono yang jebolan Magister Manajemen Agribisnis IPB, terkesan adem ayem. Kalangan pengusaha di sektor ini pun tampaknya lebih bersikap wait and see. Mereka lebih suka menunggu kebijakan apa yang akan ditempuh oleh sang menteri baru untuk memajukan industri pertanian yang selama ini seolah jalan di tempat.

Anda boleh saja tidak setuju dengan penilaian itu. Namun, bisa dibilang sepanjang lima tahun terakhir, Departemen Pertanian hanya sibuk berkutat soal pemenuhan konsumsi beras dan produksi pupuk yang harus terus disubsidi. Nyaris, agenda penting lain dilupakan. Kalau pun program diluncurkan, lebih bersifat parsial alias pragmatis.

Ambil contoh, industri daging sapi. Sudah bukan rahasia lagi jika Indonesia adalah pengimpor sapi nomor wahid. Merujuk pada data yang dilansir oleh Jenderal Peternakan neraca produksi daging sapi nasional pada 2008 diperkirakan hanya memenuhi 64,9% dari proyeksi kebutuhan konsumsi sepanjang tahun ini. Itu berarti Indonesia masih kekurangan 135.110 ton (35,1%) dari total kebutuhan daging. Dengan populasi hanya 11,26 juta ekor, produksi daging sapi nasional maksimal mencapai 249.925 ton .
Padahal kebutuhan konsumsi daging diperkirakan mencapai 385.035 ton per tahun.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) juga mencatat, setiap tahun masyarakat Indonesia membutuhkan sekitar 350.000 sampai 400.000 ton daging sapi. Jumlah itu setara dengan sekitar 1,7-2 juta ekor sapi potong.

Semua pihak sepakat bahwa kekurangan pasokan ini disebabkan sistem pembibitan sapi potong nasional masih parsial sehingga tidak menjamin kesinambungan. Padahal, titik kritis dalam pengembangan sapi potong adalah pembibitan.

Kondisi itu terbilang ironis, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar se-Asia Tenggara yang memiliki potensi sumber daya alam yang cukup melimpah. Potensi alam yang beriklim tropis dan kekayaan lahan yang luas, sangat memungkinkan bagi negara ini untuk membangun usaha sektor pertanian, khususnya sub sektor peternakan.

KUPS
Deptan sendiri semasa Anton Apriantono menjabat, telah meluncurkan program KUPS (kredit usaha pembibitan sapi). Lewat program ini, Pemerintah berniat menggenjot pengembangan peternakan sapi sehingga ke depan produksi daging cukup buat kebutuhan dalam negeri tanpa harus bergantung pada sapi impor.

Untuk mencapai target itu, Pemerintah akan mengalokasikan anggaran subsidi bunga sebesar Rp 145 miliar, dimana setiap pengusaha pembibitan sapi akan mendapat subsidi bunga bank sekitar 5%.

Dengan paket stimulus ini, Pemerintah menargetkan dapat membiakkan sapi hingga satu juta ekor per tahun. Jumlah itu cukup untuk mengurangi ketergantungan terhadap sapi impor yang mencapai 800.000 ekor per tahun.

Target sejuta ekor sapi ini berasal dari pengembangan 1.000 industri pembibitan sapi yang masing-masing membiakkan 1.000 ekor sapi per tahun. Rencananya, indukan sapi merupakan gabungan antara induk sapi Bali dan indukan unggul yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru.

Guna mendukung program itu, Departemen Pertanian telah menggandeng sejumlah bank untuk menyalurkan KUPS bagi pelaku usaha peternakan. Beberapa bank itu adalah BRI, BNI, Bank Agro, dan Bank Mandiri. Peternak yang mengambil KUPS tinggal membayar sisa bunga komersial, setelah dipotong bunga subsidi.

Untuk memperoleh KUPS, peternak harus lebih dulu mengajukan proposal dengan memenuhi beberapa syarat. Contohnya, memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), memiliki neraca rugi laba, mengajukan proposal sepengetahuan camat, memiliki kelompok binaan, dan proposal harus sepengetahuan dinas peternakan setempat.

Program KUPS akan berlangsung selama lima tahun hingga mencakup satu juta ekor bibit sapi atau per tahun sebanyak 200.000 ekor. Data Ditjen Peternakan Departemen Pertanian menyebutkan, saat ini, populasi sapi potong di Indonesia sekitar 11 juta ekor dengan kebutuhan per tahun mencapai 2,1 juta ekor. Namun, belakangan, populasi sapi terus merosot lantaran peternak terhambat pembibitan. Alhasil, pemerintah harus mengimpor, baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging dan jeroan beku.

Apakah KUPS akan berhasil? Waktu yang nantinya akan menjawabnya. Namun kalangan pengusaha umumnya pesimis. Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) menilai, KUPS masih sulit terwujud. Sebab, bibit sapi lokal sangat sulit didapat. “Percuma dapat kredit kalau bibit sapinya sendiri sulit diperoleh,” kata ketua dewan Apfindo Achmad. Repotnya, imbuh Achmad, selama ini peternak cenderung lebih menyukai bibit sapi lokal ketimbang impor.

Persoalan KUPS tentu hanya segelintir dari 'berjibun' agenda yang membuat industri sapi jalan ditempat. Meski demikian, kalangan pengusaha berharap banyak terhadap Suswono. Ditangannya, masa depan industri sapi yang mandiri menjadi tanggung jawabnya. Kita berharap akan ada terobosan-terobosan yang dapat mejembatani kalangan usaha dengan seluruh stake holder, sehingga nantinya akan tercipta iklim usaha yang lebih kondusif. Semoga.

No comments: