Wednesday, October 28, 2009

Pembibitan Sapi Titik Lemah Deptan


Tingginya laju impor sapi bakalan, menunjukkan bahwa ada yang keliru dalam kebijakan pemerintah dalam menangani industri sapi, terutama dalam hal pembibitan. Jika tidak ada program yang kongkrit dan memihak peternak lokal, niscaya Indonesia akan terus menerus tergantung pada asing.

Mantan Menteri Pertanian Anton Apriyantono terpaksa harus mengakui, program swasembada daging sapi gagal dicapai. Apakah hal itu yang menyebabkan ia tidak lagi dipercaya untuk memimpin Deptan periode berikutnya? Wallahu awam.

Namun yang pasti, pada awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, Deptan meluncurkan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS). Melalui program itu, Indonesia menargetkan swasembada daging sapi pada 2005, kemudian direvisi 2010. Anton mengungkapkan P2SDS pada 2010 juga tidak akan tercapai karena tidak mungkin dalam dua tahun menambah populasi bibit sapi 1 juta ekor. Selain tidak ada dana, bibit juga tidak ada.

Mentan menjelaskan, ada berbagai masalah keterlambatan pencapaian swasembada. Salah satunya, keterlambatan mentransformasi unit pelaksana teknis (UPT) peternakan. Ke depan, UPT tidak memproduksi bibit sapi unggul, tetapi akan diperankan seperti lembaga penelitian. ”Pembibitan ditangani masyarakat dan swasta, didukung UPT. Pusat-pusat pembibitan sapi potong dibangun lagi,” katanya.

Belum adanya langkah kongkrit menyangkut pembibitan sapi, juga diakui oleh Direktur Jenderal Peternakan Deptan Tjeppy D Soedjana. Menurutnya usaha pembibitan sapi di Indonesia, belum ada. Yang ada adalah usaha sambilan dari usaha penggemukan sapi berhubung usaha pembibitan sapi memerlukan biaya besar dan untung terlalu kecil.
"Jadi sapi-sapi yang mau digemukkan untuk dipotong yang betina diseleksi, lalu yang alat produksinya masih bagus diinseminasi buatan sehingga sebelum dipotong sudah ada anaknya lahir, lalu anak ini diseleksi lagi," katanya.

Tjeppy menjelaskan, percepatan swasembada bisa dilakukan dengan memberikan bantuan subsidi bunga untuk usaha pembibitan sapi skala kecil. Lewat program KUPS (Kredit Usaha Pemilikan Sapi), tahun 2009 dianggarkan Rp 145 miliar, ditargetkan dapat menambah populasi sapi potong 200.000 ekor.

Meski dipastikan gagal, Dewan Pakar Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) Rochadi Tawaf, menilai bahwa pencapaian swasembada daging bukan semata tugas dan tanggung jawab Deptan melainkan diperlukan keterlibatan sektor lain, seperti Departemen Ke-uangan, pertanahan, pemerintah daerah, serta semua pihak yang terlibat terkait gizi dan protein.

Sementara itu, Sekjen Perhimpunan Pe-ternak Sapi dan Kerbau Indo-nesia (PPSKI) Teguh Boediyana menekankan perlunya keputusan politik untuk mencapai target swasembada da-ging sapi berikutnya, yaitu pada 2014. Pemerintah, tegasnya, harus menyelamatkan 200.000 ekor sapi betina produktif milik peternak lokal yang dipotong dalam setahun, serta membentuk Badan Layanan Umum (BLU) untuk selamatkan pembibitan dan populasi sapi lokal yang dikelola dengan skim kredit yang khusus.

Pro Liberalisasi
Namun sayangnya ditengah upaya percepatan swasembada, Deptan justru terjebak pada program yang bersifat pragmatis alias sesaat. Salah satunya bisa buktinya terlihat pada Permentan No. 20/2009 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, dan Jeroan dari Luar Negeri. Permen itu menunjukkan adanya perubahan pola pikir dari ketahanan pangan menjadi liberalisasi pangan.

Peneliti Indonesia Research Strategic Analisys (IRSA) Siti Adiprigandari menilai pembukaan keran impor daging sebesar-besarnya, membuat peternakan rakyat, termasuk industri penggemukan sapi potong, akan semakin tertekan. Sebab, mereka harus bersaing untuk memperoleh pasar di negeri sendiri.

Berdasarkan penelitian IRSA, lanjutnya, industri daging dan jeroan, memiliki keterkaitan dengan 66 industri lainnya, sedangkan industri daging olahan dan awetan memiliki keterkaitan dengan 54 industri lainnya.

Disagregasi data lebih lanjut menunjukkan pola keterkaitan untuk sektor daging, jeroan dan sejenisnya memiliki keterkaitan dengan 37 sektor hulu dan 29 sektor hilir, sedangkan industri daging olahan dan awetan memiliki keterkaitan dengan 37 sektor hulu dan 17 sektor hilir.

Apabila kedua sektor tersebut mengalami gangguan atau dalam keadaan ekstrem dihilangkan sama sekali, menurut Siti Adiprigandari, seluruh sektor itu akan ikut terganggu secara langsung, baik dalam hal pemasaran output maupun dalam mendapatkan input.

Dia mengatakan dari hasil penelitian IRSA menunjukkan industri daging [termasuk jeroan dan sejenisnya] memerlukan input sekitar Rp39,2 triliun dan Rp1,5 triliun lainnya untuk industri daging olahan dan awetan.

Menurut Siti, meski kontribusi nominal industri sapi potong terhadap PDB nasional tidak besar, tetapi jika industri sapi potong dalam negeri tidak berfungsi atau hilang, permintaan input sebesar Rp40,7 triliun akan ludes dari perekonomian nasional.

Sementara itu Direktur Budi Daya Ternak Ruminansia Deptan Fauzi Luthan mengatakan bahwa Permentan No 20 Tahun 2009 tertanggal 8 April 2009 tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan Jeroan dari Luar Negeri tidak kontradiktif dengan Program Percepatan Pen-capaian Swasembada Daging Sapi (PPSDS) 2014. “Kalau memang mengganggu program swasembada daging ke depan, permentan itu bisa dicabut,” tuturnya.

Menurutnya pembukaan impor daging dari berbagai negara bertujuan untuk menciptakan persaingan yang lebih sehat dan menghindari monopoli. "Hal ini juga dimaksudkan untuk memberi konsumen pilihan yang lebih beragam dan harga yang kompetitif," katanya.

Impor daging, diperlukan karena produksi dalam negeri belum mencukupi, lanjutnya, dan tidak dilakukan jika pelaku dalam negeri sudah bisa swasembada. Dikatakannya, impor daging, bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ternak dalam negeri karena dari total jumlah sapi lokal yang dipotong sebanyak 1,7 juta ekor per tahun, 20 persennya adalah sapi betina.

"Tingginya permintaan mendorong pemotongan sapi betina yang sekaligus adalah mesin produksi. Ini menunjukkan ketersediaan sapi belum seimbang dengan peningkatan permintaan," katanya.

Fauzi menjelaskan, besarnya impor sapi potong sejak 2008 mengalami penurunan, tingkat impor daging dan sapi hidup ke Indonesia. Selama tahun 2008, impor yang masuk mencapai 450.000 ekor sapi dari berbagai negara seperti Australia dan Selandia Baru. Dibandingkan 2007 ada penurunan, impor sebesar 496.000 ekor sapi hidup ditambah impor jeroan yang dikalkulasikan sama dengan 300.000 ekor sapi.

Tahun 2009 target impor sapi potong hidup menurun hanya 300.000 ekor sedang pada 2010 Indonesia diharapkan hanya mendatangkan sapi potong tidak lebih dari 90.000 ekor karena sudah swasembada, paling tidak 90 persen total kebutuhan daging dalam negeri bisa dicukupi oleh peternak dalam negeri.

Penurunan produksi sapi potong selama empat tahun terakhir ini karena pemerintah melarang pemotongan sapi dibawah umur 2,5 tahun potong. Selama periode 2005 - 2006 dan 2008 - 2009 justru Indonesia sedang memproduksi sapi dengan program pengurangan penyembelihan sapi usia 2,5 tahun dan sekaligus menggenjot peningkatan angka kelahiran sapi.

Tahun ini populasi sapi potong mencapai 11.8 juta ekor dan kambing 13,3 juta ekor, terbesar Jatim yakni sebesar 3,5 juta ekor sapi dan Jateng 1,5 juta ekor. Produksi daging tahun ini diproyeksikan mencapai 371.000 ton atau sedikit meningkat dibanding tahun lalu yang mencapai 352.400 ton.

Dia berharap pada 2010 pertumbuhan populasi sapi diharapkan bisa mencapai 12 juta - 13 juta ekor atau sudah swasembada, sehingga dapat mencukupi kebutuhan daging hingga 90 persen.

2 comments:

BEMBI said...

artikel yang bagus. Luar biasa!
bambang suharno

Dian eko said...

artikel yg menarik.. Dampak impor sapi besar-besaran ini sungguh dirasakan oleh para peternak kecil. termasuk ayah saya dan tetangga-tetangga di desa kelahiran saya.. Sedih kalau dengar ceritanya.. Masak pemerintah bertujuan memberi makan daging murah kepada penduduk INA, tetapi para peternak kecil tidak diberi kesempatan untuk makan 3 kali sehari!!