Monday, November 16, 2009

Dapatkah Indonesia Mencapai Target Swasembada Daging Sapi di 2014?


Sudah bukan rahasia lagi jika Indonesia adalah salah satu negara pengimpor sapi terbesar di dunia. Data yang dilansir oleh Ditjen Peternakan, menunjukan dalam lima tahun terakhir impor sapi terus menunjukkan peningkatan. Pada 2004, impor sapi mencapai 359.000 ekor. Kemudian sempat menurun menjadi 256.000 ekor di 2005. Namun berturut-turut melonjak menjadi 265.700 (2006), 496.000 (2007) dan 450.000 (2008).

Catatan Ditjen Peternakan memang memperlihatkan bahwa neraca produksi daging sapi nasional pada 2008, hanya mampu memenuhi 64,9% dari proyeksi kebutuhan konsumsi masyarakat. Dengan populasi 11 – 12 juta ekor, produksi daging sapi nasional maksimal hanya mencapai 249.925 ton. Padahal kebutuhan konsumsi daging diperkirakan mencapai 385.035 ton per tahun. Itu berarti Indonesia masih kekurangan 135.110 ton atau sekitar 35,1% dari total kebutuhan daging.

Alhasil untuk memenuhi kebutuhan daging yang tumbuh-rata 5,5% per tahun, sementara pertumbuhan sapi lokal cuma 3,7%, tidak ada pilihan bagi pemerintah kecuali mengimpor. Meski bersifat pragmatis, kebijakan itu setidaknya dapat “menolong” industri sapi lokal. Bisa dibayangkan populasi sapi potong di dalam negeri akan terkuras, jika tidak disubstitusi oleh sapi bakalan dan daging impor.

Semua pihak sepakat bahwa kekurangan pasokan ini disebabkan sistem pembibitan sapi potong nasional masih parsial, sehingga tidak menjamin kesinambungan. Padahal, titik krusial dalam pengembangan sapi potong adalah pembibitan. Kondisi ini terbilang ironis, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar se-Asia Tenggara yang memiliki potensi sumber daya alam yang cukup melimpah. Potensi alam yang beriklim tropis dan kekayaan lahan yang luas, sangat memungkinkan bagi negara ini untuk membangun usaha sektor pertanian, khususnya sub sektor peternakan.

Disisi lain, bagi pengusaha pembibitan sapi adalah investasi yang berat dan kurang menarik. Akibatnya, pembibitan yang ada selama ini lebih banyak dilakukan secara tradisional oleh peternak rakyat. Parahnya lagi, populasi sapi produktif juga terus menurun karena sapi betina yang bisa dijadikan induk juga dipotong untuk dijadikan pedaging.

Survei populasi sapi yang dilakukan Afpindo bersama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) beberapa waktu lalu, menunjukkan hasilnya sangat mengejutkan. Populasi sapi lokal menurun drastis dengan kisaran hanya 60%. Alhasil, mencari induk bunting saat ini terbilang susah. Jika hanya 1-2 ekor mungkin ada, tapi mencari 11 ekor, luar biasa sulit. Kalau pun ada, maka harus diambil dari lokasi yang terpisah-pisah sehingga berdampak pada tingginya biaya.

Untuk mengurai “benang kusut” itu, pemerintah pada 18 Agustus lalu, akhirnya meluncurkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) tentang Kredit Usaha Perbibitan Sapi (KUPS). Sebelumnya, Deptan berharap Permenkeu itu sudah keluar sejak awal tahun 2009, sehingga dapat menopang program swasembada daging 2010, yang dipastikan telah gagal. KUPS merupakan skim kredit bersubsidi. Dalam program ini, peternak atau pelaku usaha yang mendapatkan kredit hanya membayar bunga sebesar 5% dari bunga komersial yang berlaku. Sedangkan selisih bunga menjadi tanggungan pemerintah.

Dengan keluarnya KUPS ini, pemerintah berharap target untuk mencapai swasembada daging pada 2014 bisa tercapai. Selama lima tahun ke depan (2009-2013), diharapkan ada penumbuhan minimal 50 industri perbibitan swasta dan pusat pembibitan di masyarakat sebanyak 11.310 kelompok. Selain itu adanya peningkatan populasi sapi betina sebanyak 1 juta ekor dan memberikan lapangan kerja sekitar 514.000 orang. Jika hal itu terealisasi, maka dalam dua tahun untuk mendapatkan sapi bakalan, Indonesia tidak perlu impor lagi karena sudah tersedia induknya.

Ditjen Peternakan berharap, skema kredit KUPS ini menjadi stimulus peningkatan industri perbibitan sapi dan berdampak langsung pada peningkatan populasi sapi. Saat ini, pasok daging sapi dalam negeri baru mampu memenuhi dua pertiga dari total kebutuhan konsumsi. Sepertiga lainnya harus dipenuhi dari impor sapi bakalan sekitar 400.000 - 500.000 ekor/tahun dan impor daging 70.000 ton/tahun.

Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari industri sapi nasional, Afpindo (Asosiasi Feedloter Indonesia) tentu menyambut baik langkah pemerintah meluncurkan KUPS. Demikian ditegaskan oleh Ketua Dewan Afpindo Achmad. Apalagi Dalam konteks ketahanan pangan, langkah untuk ber-swasembada dalam semua komoditas yang menjadi bahan konsumsi masyarakat (termasuk dalam hal ini daging sapi) sangat penting untuk diwujudkan, karena ketergantungan kepada pihak lain dipastikan akan mempunyai tingkat risiko dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara.

Namun agar dapat berjalan efektif, Achamd menyebutkan bahwa pelaksanaan program KUPS harus dilakukan secara selektif, terkontrol dan tepat sasaran. Pemerintah juga harus membuka diri atas masukan dari berbagai pihak terakait. Sebab, perputaran usaha pembibitan sangat lambat dibandingkan dengan usaha penggemukkan sapi. Kondisi ini membuat tertahannya alur kas keuangan perusahaan, sehingga berdampak pada keterbatasan dalam pengembangan usaha pembibitan sapi potong. Apalagi subsidi kredit hanya berjangka dua tahun. Padahal pembibitan hingga sapi siap potong diperlukan waktu 5 – 6 tahun.

Karenanya untuk lebih meningkatkan efektifitas KUPS, selain faktor grace period yang lebih panjang, sebaiknya pemerintah tidak hanya mengandalkan perbankan. Sebab, dengan sistem perbankan yang menganut sikap kehati-hatian akan membuat sulit bagi peternak kecil untuk mengakses KUPS. Meski pemerintah memberikan subsidi, bukan berarti perbankan dengan mudah mengucurkan kredit. Untuk mensiasati kendala itu, sebaiknya pemerintah mengaktifkan kembali lembaga penjaminan yang akan menjamin kredit kepada peternak. Dengan adanya lembaga penjamin peternak sapi kecil dan menengah bisa memperoleh akses kredit ke perbankan.

"Disisi lain, untuk mendukung program swasembada daging, sudah saatnya pemerintah merumuskan kebijakan lain yang bertujuan untuk mencegah pemotongan betina produktif agar tidak terjadi pengurasan sapi bakalan lokal seperti yang selama ini kerap terjadi", ujarnya.

Achmad menilai, terkait dengan swasembada daging 2014, pembibitan sapi baik untuk menghasilkan sapi untuk tujuan konsumsi ataupun untuk mengembangkan sapi bibit adalah keharusan. Meski demikian, diperlukan kebijakan yang komprehensif dan bersifat sungguh-sungguh dari pemerintah. Apalagi berkaca dari sejarah, pemerintah sebelumnya sudah memiliki kebijakan GaUng (TigaUng) yang didekrasikan di Lampung pada 1992, yakni sapi lokal sebagai tulang punggUNG, Impor sapi bakalan sebagai pendukUNG, dan impor daging sapi sebagai penyambUNG, yang terbukti efektif memajukan industri sapi nasional.

No comments: