Monday, August 17, 2009

Tidak Mudah Membangun Merek


Dengan bertambahnya ATPM, hampir bisa dipastikan, mobil-mobil China akan lebih banyak yang lalu lalang di jalan-jalan di sini. Namun apakah Foton dan Geely, akan segera diterima pasar. Tampaknya tidak semudah itu. Seperti halnya produk elektronik, persepsi konsumen Indonesia terhadap produk otomotif China masih minus. Salah satunya karena kegagalan motor-motor buatan China yang tidak saja jeblok di kualitas, namun juga lemah dalam hal layanan purna jual.

Memang tidak mudah untuk membangun reputasi merek, diperlukan waktu yang lama untuk itu. Perusahaan pembuat mobil Jepang dan Korea Selatan telah mengalami hal itu. Keadaan yang sama juga berlaku di Indonesia.

Perusahaan-perusahaan mobil Jepang, seperti Toyota, Nissan (Datsun), Honda, Mitsubishi, Mazda, dan Daihatsu, yang masuk ke Indonesia pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an mengalami hal itu. Pada tahun 1970-an, ketika pasar mobil Indonesia dikuasai oleh mobil-mobil buatan Amerika Serikat dan Eropa Barat, mobil-mobil buatan Jepang hanya dipandang sebelah mata. Pada masa itu bodi mobil Jepang tipis sehingga diejek berbodi kaleng kerupuk. Ejekan itu muncul untuk menggambarkan bahwa kualitas mobil Jepang tidak sebaik mobil Amerika Serikat atau mobil Eropa.

Harga jual yang murah tidak membuat mobil Jepang menjadi laku dijual, malahan dianggap sebagai pembenaran bahwa kualitasnya tidak sebaik mobil Amerika Serikat atau mobil Eropa. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat akhirnya menerima bahwa mobil Jepang itu tidak kalah dibandingkan dengan mobil Amerika Serikat atau mobil Eropa.

Apalagi ketika bahan bakar minyak (BBM) sempat langka dan harganya meningkat, banyak orang yang menengok ke mobil-mobil Jepang, yang pada masa akhir tahun 1970-an dikenal irit BBM. Secara perlahan-lahan mobil-mobil Jepang mulai mendominasi pasar mobil Indonesia.

Perusahaan-perusahaan pembuat mobil Korea Selatan, seperti Hyundai dan KIA, pun mengalami hal yang lebih kurang sama. Mobil-mobil Korea Selatan, yang masuk ke Indonesia pada pertengahan tahun 1990-an, masih sulit menyaingi mobil-mobil Jepang yang sudah hadir 20 tahunan lebih dulu. Padahal dalam beberapa kasus, kualitas mobil Korea Selatan tidak kalah daripada pesaingnya dari Jepang, dijual dengan harga yang lebih murah. Memang pembeli mobil-mobil Korea Selatan bertambah dari tahun ke tahun, tetapi dari segi jumlah masih sangat jauh di bawah jumlah pembeli mobil Jepang.

Soal harga juga tidak sederhana. Meski dijual dengan harga lebih murah 20% hingga 30%, tidak serta merta membuat publik tertarik. Apalagi di Indonesia, murah dan bagus adalah dua kata yang bertentangan. Di negara ini murah selalu diartikan jelek, dan sebaliknya, bagus itu selalu berarti mahal. Oleh karena itu, jika ada mobil yang dijual dengan harga murah, konsumen enggan menengokkan kepalanya, apalagi membelinya.
Belum lagi, di Indonesia banyak orang yang membeli mobil dengan tujuan berinvestasi atau juga untuk menyimpan uang. Itu sebabnya di negara ini laris-tidaknya sebuah mobil sangat ditentukan oleh nilai harga jualnya kembali (resale value).

Khusus bagi mobil China dan juga mobil buatan Malaysia (Proton) atau India (Tata Nano) yang berniat segera masuk, masih banyak yang harus dibuktikan jika ingin menapakkan kaki lebih dalam di pasar otomotif Indonesia. Hal-hal yang harus dibuktikan antara lain ketahanan mobil serta layanan purna jual dan ketersediaan suku cadangnya. Tanpa dapat membuktikan hal tersebut, sulit bagi para pendatang baru itu untuk mendapatkan pembeli yang besar di negeri ini.

Jelas, semua itu memerlukan waktu. Karena waktulah yang akan membuktikan apakah mobil China bakal diminati oleh masyarakat Indonesia, seperti halnya mobil-mobil asal Jepang.

1 comment:

ayunda said...

Sebaiknya sih kita jangan seumur-umur menjadi penampung dan pemakai mobil merk luar, tapi buatlah merk mobil sendiri. Sudah saatnya walaupun telat kita memiliki rasa malu pada kebesaran bangsa sendiri, masa ga mampu membuat mobil sendiri...........?
Jadi malu sendiri.....!