Tuesday, August 4, 2009
Carlos Ghosn dan Tantangan Krisis Jilid 2
Nissan memang sebuah fenomena dalam industri otomotif global. Setelah bertahun-tahun mengalami masa-masa sulit, pelan tapi pasti performa Nissan kembali menguat. Suntikan grup otomotif asal Perancis, Renault, membuat Nissan lolos dari lubang kehancuran. Tentu saja kepemimpinan sang CEO, Carlos Ghosn patut diacungi jempol.
Pria asal Brasil ini sangat percaya bahwa kualitas produk adalah hal paling utama. Berbagai terobosan ia lakukan, tidak hanya merevisi atau meng-update namun meredesain dan me-redifined mobil-mobil yang diproduksi oleh Nissan.
Alhasil, berbagai varian seperti Murano, Sentra, Tacoma, maupun Xtrail memberikan kontribusi yang signifikan pada laju penjualan mobil-mobil Nissan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bahkan, di Jepang sendiri, sejak beberapa tahun terakhir, Nissan sukses mengungguli Honda yang selama ini bercokol di posisi kedua.
Namun belum lagi menyodok posisi tiga besar dunia, sesuatu yang diidam-idamkan Ghosn, krisis finansial global menghadang. “Industri otomotif global tengah diterpa guncangan hebat, tidak terkecuali Nissan,” ujar Ghosn. Manajemen Nissan mengungkapkan bahwa pihaknya bakal mengalami kerugian pada tahun keuangan yang berakhir Maret 2010 sebesar 265 miliar yen atau US$ 2,9 miliar. Dengan demikian, Nissan menyusul koleganya yang lain, seperti Toyota, Toshiba dan Sony, yang sudah lebih dulu memangkas karyawannya dan membukukan kinerja buruk.
Seperti halnya dengan produsen otomotif Jepang lainnya, Nissan juga harus berupaya keras untuk bertahan di tengah krisis global ini. Apalagi, tingkat penjualan di Amerika Utara yang merupakan pasar terbesar otomotif dunia juga kian melorot. Selain itu, penguatan yen juga turut menggerus pendapatan dari luar negeri jika dikonversikan kembali ke yen.
Sebagai langkah pertama untuk bertahan, Goshn bilang, armada kerja Nissan di seluruh dunia bakal dikurangi sebesar 20.000 orang hingga Maret 2010 menjadi 215.000 pekerja dari sebelumnya 235.000 pekerja. Dari jumlah tersebut, 12.000 karyawan berasal dari Jepang, dan sisanya dari luar negeri.
Bagi Ghosn, keputusan pemangkasan karyawan seperti mengulang langkah sebelumnya. Saat program restrukturisasi digencarkan untuk menyelamatkan Nissan dari jurang kehancuran pada 1999 silam, Ghons yang dijuluki ”The Ice Breaker” juga harus memangkas ribuan karyawan di seluruh dunia, tak terkecuali di Jepang yang terkenal tradisionalis dan mengharamkan PHK. Saat itu, langkah radikalnya berujung pada cap yang tak mengenakkan, Public Enemy No 1. Badan otomotif paling berpengaruh di Jepang, Auto Parts Industries Association (APIA) bahkan sempat memusuhi The Cost Killer itu.
Namun Ghosn tetap jalan terus. Bukan hanya pemangkasan, ia pun menjual unit-unit usaha yang dinilai tidak mendukung langkah strategisnya, termasuk melego Nissan's Aerospace Unit. Hasilnya? Hanya dua tahun sejak menjadi nahkoda, Ghosn sukses membukukan keuntungan $ 2,3 miliar untuk tahun fiskal 2001.
Kini ditengah terpaan krisis ekonomi global, mampukah Ghosn menyelematkan Nissan dari ancaman krisis jilid II?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment