Wednesday, September 16, 2009

CIMB Niaga, Antara Nazir Razak dan Robby Johan


Sudah lama saya bergabung dengan Bank Niaga sebagai nasabah, yakni sejak 1997. Tak banyak pertimbangan memilih bank ini, selain karena pertimbangan dekat dengan kantor saat itu di bilangan Blok M. Kalaupun sedikit pertimbangan idealis, mungkin karena Bank Niaga adalah segelintir bank ‘nasionalis’ alias pribumi asli namun punya reputasi bagus. Kebetulan juga saya pengagum Robby Johan, Presdir Bank Niaga saat itu, yang juga dikenal sebagai salah satu ‘empu’ manajemen di republik ini.

Sayang, target Robby untuk menempatkan Bank Niaga sebagai bank ke lima terbesar di Indonesia tidak tercapai. Krisis moneter yang meluluh lantakan sendi-sendi perbankan pada 1998, telah mengubah lanskap industri dan jasa keuangan di Indonesia. Alhasil, banyak bank lokal yang collapse. Mereka yang mampu bertahan kebanyakan berganti majikan karena aturan BI yang mensyaratkan kecukupan modal (CAR) 8% tak mampu dipenuhi pemilik lama. Termasuk juga Bank Niaga. Dengan masuknya grup CIMB dari Malaysia, serta rampungnya proses merger dengan Bank Lippo, kini Bank Niaga berganti wajah menjadi CIMB Niaga.

Masuknya CIMB ke Bank Niaga juga menjadi catatan menarik. Sebelum mengakuisisi Bank Niaga, CIMB Group ternyata punya banyak resistensi. Dalam satu kesempatan, CEO CIMB Group Nazir Razak mengungkapkan bahwa akusisi atas Bank Niaga sempat membuat nilai saham perusahaan anjlok hingga 20% dan publik menjadi pesimis. “Coba pikirkan, saat itu orang-orang bersikap khawatir dengan buruknya kondisi Indonesia. Namun kami (CIMB Group) yang pertama kali dan sat-satunya perusahaan yang berani membeli Bank Niaga”, ujarnya.

Ditengah kepungan opini minor, Razak tak bergeming. Meski begitu, keputusan mengakusisi bank di kawasan Asia Tenggara merupakan keputusan paling menantang baginya. Pasalnya, langkah strategis itu harus diambil saat krisis ekonomi melanda ke seluruh negara-negara Asean. ”Bila Anda lihat disekeliling Asean, orang-orang mengingkari janji. Ada lagi yang bilang keuangan CIMB akan jatuh ke jurang. Kami memang punya dana US$ 1,4 milyar, tapi harus hati-hati, kokoh dan yakin pada pandangan sendiri. Melihat secara jangka panjang dan harus meningkatkan nilai tambah”, tambahnya.

Belakangan sejalan dengan membaiknya iklim perbankan dan dunia usaha di Indonesia, keputusan CIMB mengakuisisi Bank Niaga terbukti adalah keputusan tepat. Kinerja bank yang pernah dikuasai oleh Hasyim Djoyohadikusumo itu semakin membaik. Pada semester 1 2009, CIMB Niaga yang kini dikomandani oleh mantan Dirut Telkom Arwin Rasyid, membukukan laba bersih Rp 696 milyar atau meningkat 20% bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 578 milyar.

Meroketnya laba bersih itu juga sekaligus mendongkrak total asset mencapai Rp 102,1 trilyun atau meningkat 2% dibandingkan posisi yang sama tahun lalu sebesar Rp 100,6 trilyun. Dan yang lebih penting, kinerja yang apik itu telah melonjakkan CIMB Niaga sebagai bank terbesar ke lima di Indonesia. Dus, cita-cita Robby Johan benar-benar kesampaian meski bank yang dibesarkannya itu bukan lagi bank asli Indonesia. Apakah Robby sudah berterima kasih pada Razak? Entahlah.

No comments: