Tuesday, June 30, 2009

The Business of Business is Business



Krisis ekonomi yang berawal dari kejatuhan lembaga-lembaga keuangan di AS, telah menyeret negara-negara lain dalam resesi. Selain harga saham yang berjatuhan dan nilai mata uang yang merosot tajam, krisis juga telah meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan.


Disisi lain, beban kerugian menyebabkan banyak perusahaan yang collapse. Sebagian berusaha bertahan, meski harus berhemat. Sebagian lagi bahkan terpaksa mengajukan permintaan pinjaman kepada pemerintah demi mempertahankan kelangsungan usaha.

Dalam situasi sulit, tentu langkah-langkah efisiensi menjadi obat mujarab.


Sayangnya pada situasi ini, corporate social responsibility (CSR) seringkali menjadi prioritas dalam agenda pemotongan anggaran. Para CEO dan manajer perusahaan biasanya mempertanyakan mengapa harus mengeluarkan sumber daya baik waktu, uang dan tenaga untuk CSR. Sementara perusahaan dihadapkan pada berbagai kondisi jangka pendek yang lebih mendesak.


Karena bukan merupakan core business dan strategic planning, masa depan CSR di

Indonesia sangat mudah terimbas krisis. Selain masih lemahnya standar audit dan pelaporan CSR, kondisi diperparah karena belum terbitnya PP yang dapat menjadi panduan UU tentang CSR (UU No. 4/2007, UU Penanaman Modal No. 25, UU BUMN No. 19/2003). Alhasil, situasi itu memberikan ruang yang nyaman bagi perusahaan untuk memperlakukan CSR hanya sebagai “aksesori” atau “lip service” semata.


Beberapa perusahaan dan asosiasi bahkan berusaha menggoyang UU CSR dengan melakukan uji materi. Mereka antara lain adalah Kadin Indonesia, Hipmi, Iwapi, PT Lili Panma, PT Apac Centra Centertex Tbk, serta PT Kreasi Tiga Pilar.


Para pemohon menilai kewajiban CSR telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di muka hukum, karena perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam sudah menjalankan kewajibannya berdasarkan UU sektoral, masih diwajibkan untuk menganggarkan CSR.


Namun Mahkamah Konstitusi (MK) pada April lalu, menolak permohonan uji materi itu. Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat CSR tetap menjadi kewajiban bagi dunia usaha. Penormaan CSR sebagai kewajiban hukum, merupakan suatu kebijakan hukum (legal policy) pembentuk UU untuk mengatur dan menerapkan CSR dengan suatu sanksi.


Hal itu, menurut MK, dilandasi adanya kondisi sosial dan lingkungan yang rusak pada masa lalu akibat praktik perusahaan yang mengabaikan aspek sosial dan lingkungan, sehingga mengakibatkan kerugian bagi masyarakat sekitar dan lingkungan pada umumnya.


Terlepas dari keputusan MK, krisis sejatinya merupakan ”ujian” terhadap komitmen perusahaan yang menjalankan CSR. Karena CSR hanya akan bertahan jika ia menjadi bagian dari DNA organisasi. Perusahaan yang sejak semula menjalankan CSR ”seadanya”, akhirnya memang lebih terfokus pada mencari keuntungan ekonomi belaka. Kelompok pengusaha seperti itu, tampaknya memegang teguh kredo dari Milton Friedman : ”The Business of Business is Business”. Tragis!



No comments: