Friday, June 26, 2009

Aksi Produsen Lucky Strike



Akuisisi produsen Lucky Strike, BAT atas Bentoel, mencengangkan banyak pihak. Selain Bentoel tak dalam kondisi merugi, aksi itu langsung menempatkan BAT sebagai pengendali dengan 85% saham. Apalagi duit yang digelontorkan mencapai US$ 494 juta. Harga itu setara Rp 873 per lembar saham, dengan premi sebesar 20 persen diatas harga penutupan Bentoel sebesar Rp 730 per lembar saham pada 15 Juni 2009.

Meski harus mengeluarkan dana besar, BAT yakin akuisisi akan mempercepat langkah mereka menjadi pemain nomor wahid di Indonesia. Apalagi prospek bisnis rokok di Indonesia terbilang cerah. Tahun lalu, total produksi rokok mencapai 247 miliar batang. Sementara jumlah perokok diperkirakan mencapai 65 juta orang atau 28 % dari total penduduk. Angka itu menempatkan Indonesia sebagai negara konsumen rokok terbesar ketiga di dunia, setelah China dan India.

Pencaplokan Bentoel, tak pelak mengingatkan aksi sejenis yang dilakukan Phillips Moris Indonesia (PMI) atas Sampoerna pada 2005. Saat itu Sampoerna, bersedia menjual 40% saham dengan nilai sangat tinggi, yakni Rp 18 triliun dengan nilai saham per lembar Rp 10.600 untuk 1.753 juta lembar saham. Lebih mahal 20% dari harga Sampoerna di bursa, yakni Rp 8.850.


Kini empat tahun berselang, Sampoerna yang sebelumnya merupakan produsen rokok nomor tiga, sukses merengkuh posisi market leader. Tengok saja, pada triwulan pertama 2009, pangsa pasar Sampoerna mencapai 24,3%. Posisi Sampoerna dibuntuti ketat oleh Gudang Garam 21,1%, Djarum 19,4%, Nojorono 6,7%, Bentoel 6%, PMI 4,7%, BAT Indonesia 2% dan merek lain-lain 15,8%.


Mengapa asing terus mencaplok perusahaan rokok kita? Pastinya karena pasar rokok di negara-negara maju menyempit karena gencarnya berbagai kampanye dan pembatasan area publik merokok.


Alasan lain adalah kecilnya peluang rokok kretek asal Indonesia menembus pasar AS atau Uni Eropa. Mengingat di negara itu berlaku Undang-Undang Tembakau yang antara lain melarang penjualan rokok dengan aroma, baik mint atau cengkeh yang menjadi cita rasa rokok kretek.


Disisi lain, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia-Pasifik yang tak menandatangani "Framework Convention on Tobacco Control" (FCTC) atau konvensi pengendalian tembakau yang telah ditandatangani 160 negara.

Konvensi itu mewajibkan suatu negara membatasi dan mengurangi produksi rokok, menghapus iklan rokok, menyertakan gambar peringatan pada setiap bungkus rokok, melarang penjualan rokok secara eceran, melarang anak-anak membeli rokok, menaikkan pajak rokok dan menerapkan kawasan bebas rokok.
Sementara satu-satunya kebijakan yang diterapkan Indonesia, baru sebatas tulisan peringatan saja.


Tak pelak, dengan berbagai kondisi yang ’menyejukkan’ itu, Indonesia menjadi surga produsen rokok. Apalagi tarif cukai Indonesia terendah di dunia, hanya 35%. Sementara umumnya negara-negara lain sudah menerapkan tarif cukai lebih dari 50%. UU PT juga membolehkan asing menguasai hingga100% kepemilikan saham perusahaan rokok. Itulah yang menjadi daya tarik asing memperluas pasar rokok di Indonesia.

No comments: