Wednesday, November 3, 2010

Sigi SCTV, Momentum Publisitas Yang Hilang


Anda tentu sudah mengetahui polemik batal tayangnya program Sigi. Menteri Hukum dan Ham Patrialis Akbar yang diisukan bakal terkena reshuffle, dituding telah mengintervensi agar SCTV tidak menayangkan program bertajuk "Bisnis Seks di Balik Terali Besi" yang seharusnya sudah dapat dinikmati pemirsa pada 13 Oktober 2010 lalu.

Kisruh itu pun akhirnya melibatkan Dewan Pers. Setelah melakukan pertemuan dengan Patrialis pada Jumat (22/10), Dewan Pers yang diketuai Bagir Manan, akhirnya menyimpulkan bahwa tayang atau tidaknya program SIGI itu, diserahkan sepenuhnya kepada pihak SCTV.

Bagir mengatakan berdasarkan pengakuan pihak Kementerian Hukum dan HAM, tidak ada intervensi dari mereka kepada SCTV terkait program tersebut. Namun, menurut Bagir, Dewan Pers akan terus melakukan pemeriksaan terkait hal tersebut.

Pihak SCTV sendiri merasa diintervensi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia soal penayangan program Sigi itu. “Dari kronologi yang kami alami, intervensi itu jelas ada,” kata Kepala Liputan 6 News Center SCTV Don Bosco Selamun.

Don bilang, seseorang yang mengaku sebagai staf Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar berkali-kali menelepon, mengirim pesan singkat, hingga datang ke kantor SCTV, meminta program Sigi tersebut tak ditayangkan.

Sebelumnya pihak redaksi SCTV bergeming dan memutuskan untuk tetap menayangkan meski harus menunda sepekan kemudian. Namun, tunggu punya tunggu, jutaan pemirsa hanya kembali menelan kekecawaan karena tayangan yang membuka borok di lingkungan penjara itu tetap tidak muncul. Sampai belakangan diketahui, 'intervensi' justru dilakukan sendiri oleh Dirut SCTV Fofo Sariaatmadja.

Bisnis Vs Politik
Memang setelah pertemuan yang terkesan cuma basi-basi tersebut, kini 'bola' sepenuhnya berada di SCTV. Namun, dari diskusi saya dengan sumber di SCTV, Fofo tampaknya lebih memilih untuk 'membekukan' program kontroversial itu, terutama untuk menghindari benturan lebih jauh dengan sumbu-sumbu politik. Keputusan Fofo untuk 'mengalah',jelas tidak populer. Tidak hanya internal SCTV, namun juga masyarakat yang rindu dengan tayangan bermutu.

Saya sendiri sangat menyayangkan keputusan tersebut. Padahal, jika benar-benar on-air, niscaya pamor SCTV di segmen berita punya kesempatan untuk kembali meroket. Sebelumya, meski bukan dikenal sebagai stasiun TV berita seperti Metro TV, SCTV memiliki kredibilitas yang tinggi dalam setiap penayangan berita. Analisis mendalam dan kritis, menjadi poin penting yang menjadi diferensiasi sekaligus kekuatan program berita SCTV. Video kekerasan yang terjadi di STPDN beberapa waktu lalu, semakin memperkuat citra tersebut.

Bahkan untuk program Sigi, Selama dua bulan berturut-turut, Maret dan April 2008, program investigasi khas Liputan 6 itu, pernah meraih penghargaan dari dua buah lembaga berbeda: Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Dari AJI, karya berjudul "Anak-Anak Yang Tercerabut" memperoleh penghargaan sebagai Juara II dalam lomba Karya Jurnalistik bertemakan Buruh Anak. Sedangkan dari Dephukham, Sigi 30 Menit meraih Juara Pertama atas liputan bertajuk "Di Nusa Kambangan Menanti Eksekusi".

Tak dapat dipungkiri, hijrahnya banyak figur penting seperti Indi Rahmawati cs, ke TV One, jelas melemahkan divisi news SCTV. Kondisi bukan semakin membaik, karena sang nahkoda, Rossiana (Rossy) Silalahi yang sebelumnya menjabat sebagai Pemred Liputan 6, memilih hijrah ke Global TV karena terus berbenturan dengan kebijakan yang digariskan oleh Fofo. Alhasil, divisi news SCTV boleh dibilang hanya menjadi pelengkap dari divisi program (musik dan entertainment).

Kini tayangan musik seperti InBox, reality show dan lusinan sinetron yang dinilai memiliki rating tinggi, lebih banyak menghiasi layar SCTV. Program berita benar-benar terpinggirkan. Indikasinya tak hanya menyangkuat kualitas, namun juga konsistensi. Ambil contoh, Liputan 6 Malam yang sebelumnya tayang tepat pukul 12, kini harus mengalah digusur sinetron. Tayangan berita malam ini bahkan kerap tayang pukul 01.30, saat kebanyakan orang sudah terlelap tidur

Keputusan Fofo yang menghentikan tayangan SIGI bertema seks dipenjara itu, memang patut disayangkan. Sebab inilah momentum bagi SCTV untuk kembali bisa bersaing di segmen berita, yang kini relatif sudah direbut oleh Metro TV dan TV One. Apalagi publisitasnya sudah sedemikian heboh dan gratis pula. Semua media kecil dan besar, termasuk Tempo Group, memberitakan polemik ini.

Namun dari sisi manajemen, keputusan Fofo dapat dipahami. Sebab diantara pengelola TV lainnya, keluarga Fofo dikenal paling 'independen'. Mereka tak suka 'berpolitik'. Sebagai pebisnis murni, keluarga ini sangat berhati-hati, apalagi jika hal itu berpotensi mengganggu kelangsungan bisnis yang sudah dibangun selama ini.

Bandingkan dengan Aburizal Bakrie (TV One dan AnTV), Chairul Tanjung (Trans Group), Surya Paloh (Media Indonesia Group) dan Harry Tanoe (MNC Group) yang pandai berakrobat, tak hanya di dunia bisnis, namun juga politik. Keempatnya, terutama Harry Tanoe dan Ical, sangat piawai memanfaatkan media yang mereka dimiliki tak hanya untuk mendulang fulus, namun juga untuk meningkatkan posisi tawar dimata penguasa.

No comments: