Saturday, April 17, 2010

India dan Evolusi Mobile Broadband


Setelah China, India adalah pasar selular terbesar kedua di dunia. Reformasi telekomunikasi yang ditempuh pemerintah India sejak satu dekade lalu, terbukti mampu mendorong pertumbuhan pengguna hingga ratusan kali lipat. Kini layanan mobile broadband diyakini akan menjadi babak selanjutnya, sekaligus mengubah wajah industri selular semakin dinamis di negeri itu.

Selama ini kita terpukau dengan China. Negeri dengan pertumbuhan ekonomi paling fantastis di dunia karena mampu melesat rata-rata dua digit. Pertumbuhan yang tinggi itu memang dorong oleh berbagai industri yang tumbuh massif, termasuk selular yang menjadikan China tidak hanya menjadi pasar namun juga basis manufacturing vendor-vendor global. Alhasil, tak kurang dari setengah milyar pengguna ponsel kini menyesaki China.

Namun diluar China, India adalah pasar yang tak kalah eksotis. Tengok saja, dengan 6,8 juta pelanggan baru sepanjang November 2009 saja, India baru-baru ini melampaui China sebagai negeri paling cepat berkembang di pasar ponsel dunia. Memang India masih tertinggal dari Cina dalam hal total pelanggan, yakni hanya dengan 143 juta dibandingkan dengan Cina 449 juta. Tapi angka itu hampir dua kali lipat karena dua tahun lalu, total pengguna ponsel di negeri Sharukh Khan itu baru mencapai 75 juta. Alhasil, dengan fenomena itu, pemerintah India telah menetapkan tujuan ambisius, yakni mencapai 500 juta pelanggan pada 2010.

Bagi masyarakat India sendiri, merayakan kemunculan mereka sebagai kekuatan ekonomi global lewat penyebaran ponsel secara massif, ternyata jauh lebih penting daripada jargon pembangunan "berteknologi tinggi" yang selama ini didengung-dengungkan oleh elit pemerintah. Lebih dari itu, penyebaran ponsel telah sangat demokratis dan membiarkan sopir taksi, petani dan nelayan untuk berpartisipasi secara langsung sejalan dengan booming ekonomi yang rata-rata mencapai 5-6 persen per tahun.

Ledakan industri seluler di India, juga menunjukkan bahwa reformasi telekomunikasi yang ditempuh pemerintah telah membuahkan hasil. Sebelum pergantian milenium, industri telekomunikasi di India terbilang jalan ditempat. Butuh waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk mendapatkan telepon di India. Infrastruktur yang minim dan birokrasi yang mencekik, membuat penetrasi telepon kurang dari 2%. Ini adalah salah satu tingkat penetrasi telepon terendah di dunia.

Namun pemerintah India bergerak cepat. Pada 1999, deregulasi yang terbilang drastis menyentuh industri telekomunikasi yang sebelumnya kental dengan praktek monopoli. Perusahaan swasta yang sebelumnya diharamkan, diberi kesempatan seluas-luasnya baik untuk operator maupun vendor handset dan vendor jaringan, termasuk pemain global. Alhasil, kompetisi di sektor telekomunikasi pun menjadi marak.

Kini hasilnya terbilang mencengangkan. Sengitnya persaingan di antara operator telepon seluler berbasis GSM di India menjadikan layanan selular menjadi termurah di dunia. Tengok saja, biaya panggilan keluar hanya satu penny per menit. Harga ponsel per unit juga telah jatuh ke rata-rata $35, terutama setelah tiga vendor utama yakni Motorola, Sony Ericsson dan Nokia membuka pabrik di India. Begitu pun dengan pasar ponsel second. Di New Delhi misalnya, pengguna dapat membeli ponsel dari tangan kedua sebesar $15 atau kurang. Dengan pola distribusi terbuka, seorang pengusaha kecil di Mumbai (Bombay) atau Kolkatta (Calcutta) dapat memiliki ponsel dalam hitungan beberapa hari.

Mobile Broadband
Kompetisi terbuka antar operator membuat pasar selular di India semakin dinamis. Beberapa penyedia layanan seluler terbesar di negeri ini adalah Bharti Airtel, Vodafone, Idea, BSNL, Reliance, Tata Indicom, Spice, dan BPL. Semua perusahaan ini terus bersaing dengan satu sama lain untuk mendapatkan yang lebih tinggi pangsa pasar mobile.

Meski sudah sesak oleh banyaknya pemain, laporan Gartner menyebutkan bahwa market volume masih terbuka dan akan mendorong naiknya pendapatan hingga mencapai $ 25 miliar pada 2011 dari saat ini $ 9 miliar. Hal itu dipicu oleh penetrasi seluler yang melonjak menjadi 38,6% pada tahun 2011, dengan 58% dari penduduk pedesaan dan 95% dari penduduk perkotaan memiliki ponsel. Seperti halnya Indonesia, pasar akan didorong oleh koneksi prabayar, yang mencapai lebih dari 93% koneksi, sehingga mendorong tingginya tingkat churn yang diperkirakan akan mencapai 41% pada 2011 dari saat ini 30,6%.

Laporan Gartner juga menjelaskan bahwa tingkat penetrasi akan didorong oleh peningkatan fokus pada pasar pedesaan, handset murah, agresif promosi dan penawaran bundling dengan handset. Sejauh ini penetrasi pasar di kawasan pedesaan masih terbuka lebar, hanya 2% dari total market keseluruhan, sehingga hal itu merupakan suatu kesempatan besar bagi pemain seluler. Apalagi, biaya percakapan akan semakin turun menjadi lebih dekat dengan tarif fixed-line.

Seperti halnya Indonesia, seiring dengan maraknya permintaan akan layanan mobile broadband, pendapatan dari layanan data diprediki akan memberikan kontribusi pada pertumbuhan revenue. Namun, dalam beberapa tahun mendatang sebagian besar pendapatan masih akan terus datang dari layanan suara dan teks. Repotnya, dengan pola pra-bayar yang mendominasi profil pengguna dan tingginya tingkat churn, operator kini dihadapkan pada dilema, yakni besarnya pelanggan berpendapatan rendah yang nota bene justru menjadi penyebab turunnya ARPU (Pendapatan Rata-Rata Per Pengguna).

Dengan kondisi pasar yang menuju saturated terutama di kawasan perkotaan, pemain besar akan memiliki keuntungan dengan terus memperluas kehadiran mereka dan mengambil keuntungan dari skala ekonomis. Tapi mereka akan menghadapi tantangan besar karena persaingan semakin meningkat. Masuknya Vodafone, operator raksasa dari Inggris beberapa waktu lalu, turut mengubah peta pasar menjadi lebih ketat.

Sayangnya, kelangkaan spektrum dapat mempengaruhi rencana ekspansi dan kualitas layanan. Untuk itu, kebijakan India Telecom Nasional yang akan segera melepaskan spektrum 3G, dinilai merupakan langkah strategis sekaligus penting karena akan mempertahankan pertumbuhan dalam industri, sekaligus menjembatani kesenjangan yang dihasilkan karena tarif suara yang lebih rendah dan subsidi handset semakin memangkas margin yang dihasilkan operator.

No comments: