Tuesday, August 24, 2010

Price is Never Ending Battle!


Dalam perbincangan santai dengan Dirut salah satu perusahaan selular belum lama ini, terungkap sejumlah fakta yang membuat saya semakin kagum sekaligus khawatir dengan masa depan industri selular di negeri ini.

Fakta pertama, jumlah pelanggan seluler di Indonesia terus meraksasa. Dalam data terakhir, jumlahnya disebut sudah menembus angka 190 juta pelanggan. Itu berarti penetrasi pasar sudah hampir saturated. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan atau Surabaya, malah sudah melebihi 150 persen. Tiga besar operator, yakni Telkomsel, Indosat dan XL Axiata, mengangkangi tak kurang dari 75 persen market share. Telkomsel kini menggaet 90, Indosat 39 juta dan XL Axiata 35 juta pelanggan.

Fakta kedua, industri seluler menjadi berkah bagi negara berkembang, seperti Indonesia. Hal itu lantaran kian terjangkau dan berkembangnya layanan seluler di tengah semakin kurang populernya layanan telepon tetap yang dianggap mahal. Alhasil, 95 persen dari 190 juta itu merupakan pelanggan tipe prepaid.

Fakta ketiga, revenue industri seluler telah menembus di atas Rp 100 triliun. Revenue sebesar itu tak lepas dari besarnya nilai investasi yang ditanamkan hingga saat ini mencapai US$ 2 miliar. Investasi mencolok dapat dilihat dari jumlah BTS yang sudah mencapai lebih dari 100 ribu BTS.

Dibalik "kemegahan" itu, industri selular saat ini tengah menuju pada kondisi 3C (competition, change and crisis). Untuk bisa bertahan, konsolidasi pun tak terelakkan. Axis misalnya sudah mengawali hal itu lewat kerjasama dengan XL untuk melakukan perluasan coverage di luar Jawa. Langkah paling "radikal" adalah kerjasama antara Fren dan Smart yang sudah bersinergi dalam hal penjualan dan network sharing. Diperkirakan, dua operator CDMA ini akan segera melakukan merger.

Memang, keberadaan 11 operator menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kompetisi yang luar biasa ketat, bahkan cenderung berdarah-darah. China saja dengan costumer base yang sudah mencapai 500 juta pelanggan, hanya dihuni oleh 3 tiga operator.

Alhasil, bagi para pemain diluar tiga besar, tak ada pilihan lain, selain menjadikan price sebagai panglima. Faktanya, harga murah memang selalu menjadi key driver dalam merebut pelanggan.

Ironisnya, seiring dengan tumbuhnya kebiasaan baru pengguna dalam memanfaatkan internet, wilayah baru pertempuran pun meluas ke layanan data yang note bene merupakan masa depan industri selular. Disini, lagi-lagi operator kecil terus memanfaatkan pelanggan dengan katagori "price sensitive" untuk berpindah ke lain hati.

Tengok saja, langkah "harakriri" yang dilakukan Tri. Belum lama ini, operator asal Hong Kong itu memangkas kembali tarif Blackberry (BB) hingga Rp 69 ribu/bulan. Menjadikan Tri sebagai operator termurah dilayanan BB.

Sebelumnya, pada awal tahun ini Tri melakukan gebrakan dengan memangkas biaya berlanggan BB dibawah Rp 100 ribu. Kebijakan harga murah ala Tri kemudian diikuti oleh Axis yang mematok tarif Rp 79 ribu. Kini, tak urung, dua pemain besar lain yakni Indosat dan XL Axiata terpaksa memangkas tarif hingga Rp 120 ribu per bulan agar pelanggan mereka tak ikut pindah.

Konsumen tentu saja happy dengan harga murah. Alhasil, Tri mengklaim, jumlah pelanggan mereka di akhir 2009 tercatat 8,5 juta. Angka ini naik dua kali lipat dibanding 2008 yang hanya 4,5 juta pelanggan.

Namun, dibalik peningkatan jumlah costumer base, bagaimanapun penetapan harga yang dilakukan Tri sungguh diluar dugaan. Sebab setahu saya, licence fee untuk RIM (Research In Motion) saja, sudah mencapai Rp 70/bulan.

Strategi penetapan harga memang terkadang tak masuk akal. Sekali terjebak, pemain yang memanfaatkan harga murah akan terus akan terjerat hingga ke paling dasar sekalipun (how low ca you go).Tak berlebihan jika adagium price is never ending battle, sudah merupakan bagian dari industri selular saat ini. Repotnya, penetapan harga murah terkadang membuat blunder dengan turunya level QoS (quality of service).

Siapa mampu bertahan?

No comments: