Friday, July 15, 2011

3G, Dulu Setengah Hati Kini Dikejar Sampai Mati


Dalam beberapa pekan terakhir, isu penataan (refarming) frekwensi 3G terus menghangat. Melihat kompleksitas persoalan, tampaknya isu ini bakal menjurus ke polemik karena tidak mudah mencari solusi yang bersifat win-win diantara pihak-pihak yang berkepentingan. Sebab hal ini menyangkut sumber daya yang menjadi kunci pertumbuhan sekaligus kelangsungan usaha perusahaan.

Seperti diketahui, sejak virus mobile internet semakin mewabah, tsunami trafik data di Indonesia kini sudah menjadi kenyataan. Para pemilik lisensi 3G seperti Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Hutchison CP Telecom Indonesia (HCPT), dan Natrindo Telepon Seluler (NTS/Axis) mengakui jaringannya telah terjadi lonjakan hingga dua kali lipat dibandingkan beberapa tahun lalu.

Tengok saja Telkomsel. Sang Dirut Sarwoto Atmosutarno, mengungkapkan bahwa konsumsi konten dan data sudah menjadi primadona bagi sebagian pelanggan. Tercatat, lebih dari 25 juta dari total 100 juta pelanggan Telkomsel aktif mengakses jasa ini. “Karenanya kami harus mengajukan tambahan frekuensi karena trafik sudah naik 200 persen dan tren teknologi ke depan adalah konsumsi data", ujar Sarwoto.

Sarwoto mengakui, walau kontribusi dari jasa data belum dominan bagi total omset perseroan, yakni masih sekitar 15 persen, namun pihaknya mulai melakukan langkah antisipasi dengan memperkuat kapasitas jaringan melalui permintaan tambahan blok frekuensi 3G ke pemerintah.

Sarwoto pun mendesak tambahan blok frekuensi yang diberikan untuk perseroan harus bersebelahan (contigous) karena sesuai aturan operator diberikan penambahan setelah dilakukan evaluasi baik dari sisi jumlah pelanggan dan pembangunan BTS 3G (Node B). “Kami pertama kali yang mengajukan tambahan blok ketiga. Logikanya regulator hanya melakukan evaluasi saja untuk melihat siapa yang layak mendapatkan tambahan,” tegasnya.

Tak ingin kalah langkah, XL sejak awal tahun ini juga secara resmi telah mengajukan permintaan blok ketiga (third carrier). Direktur Jaringan XL Dian Siswarini mengaku siap jika terjadi lelang bagi tambahan blok ketiga untuk 3G. “Kami siap untuk lelang. Soalnya lebih murah investasinya menambah frekuensi ketimbang harus merapatkan pembangunan BTS. Apalagi jika didapat blok yang contigous, kapasitas yang diinginkan bisa efisien ” jelasnya.

Sebelumnya bersama Indosat, Telkomsel dan XL, telah mendapatkan tambahan blok kedua sebesar 5 MHz pada tahun lalu. Saat ini dari 11 kanal 3G, di spektrum 2,1 GHz hanya tersisa satu blok yang ideal untuk digunakan mengingat satu blok lagi diperlukan sebagai guardband dari frekuensi milik Smart Telecom.

Bagaimana tanggapan pemerintah? Alih-alih menyetujui permintaan Telkomsel dan XL Axiata tersebut, pihak BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) lebih merespon permintaan operator layer kedua, yakni HCPT (Tri) dan NTS (Axis). "Kami baru menyetujui Natrindo dan Hutchison karena ini merupakan penambahan kanal mereka yang pertama, sedangkan dua operator lainnya sudah pernah memperoleh tambahan yakni Telkomsel pada 2009 bersama Indosat dan XL tahun lalu," ujarnya anggota BRT1 Heru Sutadi.

Heru membantah ada pilih kasih dalam penataan ulang blok kedua 3G seperti diloloskannya keinginan NTS dan HCPT yang ingin memiliki kanal bersebelahan walau kedua operator itu sempat tidak tertarik meminta tambahan frekuensi beberapa waktu lalu.

“Rencananya blok kedua diberikan 2008 tapi tertunda, akhirnya diberi deadline baru untuk mengajukan tambahan sesuai harga yang ditentukan pemerintah Agustus 2010. Itu fair, karena sesuai regulasi, kita punya kewajiban mencadangkan 5 MHz kedua untuk operator 3G dengan evaluasi dan membayar up front fee sesuai dengan angka yag ditentukan,”tukasnya.

Direktur Pengendalian Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Ditjen Sumberdaya Perangkat Pos dan Informatika, Kemenkominfo Tulus Raharjo mengungkapkan, hal yang dilakukan saat ini adalah menata dulu pemberian untuk blok kedua agar semua operator mendapatkan frekuensi yang contigous. Pihaknya juga memberikan lima opsi, salah satunya adalah Telkomsel diminta pindah dari blok 4 ke 6 dengan konsekuensi operator itu harus mengeluarkan dana sekitar 34 miliar rupiah dan ada kendala kualitas layanan saat salah satu kanal dimatikan.

Ayam Bertelur Emas
Bagi pemain lapis kedua, penambahan frekwensi 3G, memang dapat dimaklumi. Untuk mengejar pertumbuhan pelanggan sekaligus revenue yang selama ini didominasi the big three, tak ada jalan lain kecuali menggenjot layanan data lewat kanal 3G.

Simak saja pernyataan VP Sales and Distribution Axis Syakieb A. Sungkar. Ia beralasan, pada tahun ini pihaknya berencana untuk membangun 9 ribu BTS 3G (Node B) memperkuat 4 ribu Node B yang telah ada. “Data telah berkonribusi sekitar 30-35 persen bagi total omset. Kita butuh tambahan blok frekuensi walau kapasitas yang ada masih memadai karena okupansinya baru mencapai 30 persen,” jelasnya.

Syakieb juga menyebutkan, penambahan blok kedua, akan memperkuat komitmen Axis untuk membangun 9.000 BTS dalam waktu tiga tahun ke depan. Diestimasikan, total dana untuk mendukung ekspansi jaringan itu akan menelan dana US$ 1,2 milyar.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Government Relations HCPT Sidarta Sidik. Ia mendesak dalam kurun waktu antara satu dan dua bulan ke depan sudah ada kepastian dari pemerintah terkait penambahan kanal 3G karena sudah menyampaikan surat kesanggupan bayar untuk penggunaan 10 tahun.

Sidik menyebutkan, pihaknya telah menganggarkan dana Rp 373 miliar untuk mendapatkan blok kedua 3G tersebut. Tri juga siap membayar biaya up front fee sebagaimana diwajibkan pemerintah. Sidik menyebutkan, Tri membutuhkan tambahan frekwensi 3G untuk mendukung ekspansi jaringan dan layanan data. Seperti halnya Axis, Tri baru memiliki satu blok 3G dengan kapasitas 5 MHz. Pada tahun ini, Tri berencana untuk menambah sekitar 6.000 BTS baru dengan alokasi 60 persen node B (3G) dan 40 persen 2G.

Untuk diketahui, mendapatkan satu blok frekuensi 3G tidaklah murah. Telkomsel mengeluarkan dana sebesar 320 miliar rupiah untuk Up front fee, selain Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi tahun pertama sebesar 160 miliar rupiah. Sementara Indosat mengeluarkan dana sebesar 352 miliar rupiah ( up front fee + BHP tahunan) dan XL menguras kantongnya sebesar 487,6 miliar rupiah (up front fee + BHP).

Namun, melihat tren penggunaan data dan konten yang terus melonjak sekaligus menjanjikan revenue lebih baik dari basic service, 3G dinilai menjadi penyelamat operator dalam menghadapi kerasnya persaingan. Padahal, saat diperkenalkan sekitar enam tahun lalu, teknologi 3G sempat dipandang sebelah mata. Mahal dan belum tentu menguntungkan. Tapi, seiring dengan meledaknya konsumsi data akibat serbuan smartphone, kini 3G layaknya ayam bertelur emas. Semua operator bersedia membayar berapa pun harganya, karena menjadi kunci memenangkan persaingan.

No comments: