Thursday, July 7, 2011

Pertamina dan Simalamaka BBM Bersubsidi


Minus Jabotabek dan kota-kota besar di Jawa, sejumlah daerah di Indonesia kini dilanda fenomena langkanya BBM bersubsidi. Saya sendiri pun mengalami langsung saat melakukan perjalanan ke Pekanbaru dan Bukit Tinggi baru-baru ini.

Tentu saja banyak kalangan menilai, Pertamina tidak becus dalam mengelola bisnis yang langsung bersentuhan dengan masyarakat ini. Bahkan tak sedikit yang menuding, kelangkaan merupakan faktor yang disengaja (by design), agar masyarakat segera beralih menggunakan Pertamax yang merupakan BBM non subsidi. Namun, benarkan demikian?

Meski tidak punya kepentingan apa pun dengan Pertamina, saya sendiri tidak sependapat dengan kedua opini miring itu. Faktanya, seperti bermain catur, Pertamina hanyalah menjadi pion yang harus pandai melakukan manuver, meski langkahnya terbatas. Bahkan dalam bahasa yang lebih ekstrem, perusahaan pelat merah ini bisa disebut sebagai korban kebijakan subsidi energi yang selama ini ditetapkan pemerintah dan cenderung salah sasaran.

Seperti kita ketahui, penyaluran BBM bersubsidi sebenarnya bukan lagi dikuasai oleh Pertamina. Sejak 31 Desember 2010, BPH Migas menetapkan AKR Corporindo dan Petronas Niaga Indonesia. Dua perusahaan swasta itu berhak mendampingi Pertamina untuk menyalurkan BBM bersubsidi ke wilayah di luar Jawa dan Bali. Keputusan itu sekaligus mengakhiri era monopoli penyaluran BBM bersubsidi yang selama ini dilakoni Pertamina.

Namun, sejak keputusan itu ditetapkan, masyarakat mungkin belum pernah menikmati BBM yang disalurkan oleh AKR dan Petronas. Saya sendiri dalam perjalanan ke Pekanbaru, hanya menemukan satu buah SPBU milik AKR di wilayah Lampung. Itu pun belum beroperasi. Seementara SPBU milik Petronas malah tidak saya temukan. Alhasil, meski sudah tidak lagi memonopoli, faktanya Pertamina masih menjadi single player di bisnis ini.

Apa yang menyebabkan kedua perusahaan itu mandek dalam menyalurkan BBM bersubsidi? Saya tidak ingin berspekulasi dengan urusan politik misalnya. Namun, bila kita telisik, hitung-hitungan bisnis bisa jadi yang membuat kedua perusahaan itu enggan berkubang karena melihat potensi keuntungan yang bakal lebih banyak menguap. Mereka rupanya tidak ingin seperti Pertamina yang sejak dua tahun terakhir babak belur karena menyalurkan BBM jenis itu.

Tengok saja kinerja Pertamina sepanjang empat bulan pertama 2011. Meski berhasil meraup pendapatan Rp 180,98 triliun dengan laba bersih Rp 8,97 triliun, beban usaha BUMN terbesar di Indonesia ini, cukup berat. Berdasarkan rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) April 2011, beban usaha Pertamina dipatok Rp 130,7 triliun. Tapi realisasinya sudah menembus Rp 167,37 triliun, atau sekitar 28,1 persen diatas hitungan.

Apa yang menyebabkan beban usaha Pertamina jauh melonjak? Dirut Pertamina Karen Agustiawan, menyebutkan bahwa beban dipengaruhi oleh harga crude. Untuk menekan tingginya beban usaha itu, Karen meminta pemerintah segera memperbaiki besaran alfa (alpha) atau selisih antara harga minyak mentah dan harga jual BBM bersubsidi. Sebab, jika tidak diubah, Pertamina akan rugi terus dalam menjual BBM jenis ini.

Catatan Pertamina menunjukkan besaran alpha BBM bersubsidi selalu rendah dari tahun ke tahun. Malah pada 2010 malah lebih rendah lagi, yakni Rp559 per liter. Karen mengatakan besaran alpha Pertamina seharusnya berupa persentase, layaknya margin pada perusahaan lain. Menurut di, besaran alpha Pertamina idealnya mengikuti pergerakan harga minyak. "Kalau harga minyak naik, alpha naik. Kalau harga minyak turun, alphanya juga turun, jadinya fair. Besaran alphanya tergantung, paling tidak 10% dari harga minyak," ujarnya.

Apalagi, meski sudah didesak banyak kalangan, pemerintah masih enggan menaikkan harga BBM bersubsidi. Disisi lain, konsumsi BBM jenis ini sudah jauh melonjak.
Laporan BPH migas menunjukkan distribusi volume BBM Bersubsidi secara nasional sudah melebihi kuota yang ditetapkan. Hingga 15 Juni 2011, realisasi premium mencapai 11,03 juta kiloliter (kl) atau 105 persen di atas kuota, kerosene 0,85 juta kl atau 81 persen dari kuota, solar 6,32 juta kl atau 106 persen di atas kuota dan LPG 1,38 juta ton atau 88 persen dari kuota.

BPH Migas juga mencatat, dua provinsi dan 12 kabupaten sudah meminta tambahan BBM bersubsidi yaitu, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Bangka Belitung, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kep Meranti, Siau Tagulandang, Lembata, Sanggau, Poso, Yahukimo, Bur Selatan, Paniai, Mimika, Jayawijaya dan Kabupaten Puncak Jaya.

Kembali ke Pertamina. Karen sendiri mengungkapkan, hingga April 2011, Pertamina sudah 'jebol' Rp 500 miliar gara-gara besaran alfa tersebut. Kalau tidak ada perubahan alfa, hingga akhir tahun, Pertamina diperkirakan merugi hingga Rp 1,6 triliun. Tahun lalu, BUMN ini sudah menderita kerugian Rp 2,51 triliun dari penjualan BBM bersubsidi.

Nah, dengan potensi kerugian sebesar itu, otomatis setoran deviden Pertamina juga terpangkas. Contohnya, tahun lalu, laba bersih Pertamina hanya mencapai Rp 16,7 triliun. Seharusnya laba bersih itu jauh lebih besar, yakni Rp 25 - 30 triliun, jika Pertamina tidak menanggung kerugian akibat menjual BBM bersubsidi.

Meski dibayangi simalakama BBM bersubsidi, Karen menegaskan akan terus memacu produksi. Pihaknya optimis dapat membukukan pendapatan sebesar Rp 425,27 triliun dengan target laba bersih Rp 17,70 triliun pada akhir 2011. Sementara hingga 2015 mendatang, Karen menargetkan Pertamina dapat menjaring revenue hingga Rp 750 triliun pada 2015, naik 166 persen dari target tahun ini.

No comments: