Wednesday, August 10, 2011

Penataan Frekwensi Harusnya Bukan Sekedar Bagi-Bagi Jatah


Kisruh rebutan frekwensi 3G, menunjukkan bahwa frekuensi pada sektor telekomunikasi memang semakin strategis. Sektor telekomunikasi ini berkembang dinamis dengan teknologi-teknologi baru yang implementasinya membutuhkan frekuensi khusus, sementara ketersediaannya minimal. Padahal di sektor lain seperti penyiaran, ketersediaan spektrum frekuensi cukup berlimpah dengan kontribusi revenue bagi negara yang kecil.

Ironisnya, saat ini spektrum sudah habis dibagi rata kepada semua operator tanpa adanya prioritas. Seharusnya diberikan kepada operator yang benar-benar membangun infrastruktur hingga ke seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Telekomunikasi No. 36/1999.

Disisi lain, alokasi spektrum untuk penggunaan broadcasting juga terlalu besar, bahkan mencapai lebih dari 150MHz, sementara Telkomsel yang memiliki pelanggan 105 juta pelanggan hanya 80MHz, XL dengan lebih dari 40 juta pelanggan hanya 40MHz, atau sama dengan milik Natrindo Telepon Seluler (NTS) yang hanya memiliki 10 juta orang. Contoh lain, Indosat sebagai pemegang spektrum terbesar di Indonesia, menguasai 122 MHz. Repotnya, operator itu kini kepemilikannya didominasi Qatar Telecom.

Parahnya lagi, berdasarkan data dari Ditjen Postel, alokasi spektrum untuk telekomunikasi pada 2010 hanya mencapai 585 MHz, termasuk untuk GSM, CDMA, dan trunking (tetapi memberikan PNBP sebesar 90% atau Rp5,13 triliun). Padahal alokasi spektrum untuk televisi swasta, termasuk satelit menguasai hampir 1.100 MHz dengan sumbangan PNBP hanya 0,03%. Ini jelas menunjukkan ketidakefisienan alokasi frekwensi yang ada.

Proporsi alokasi spektrum frekuensi dan kontribusi yang tidak seimbang ini merupakan warisan regulasi di masa lalu. Sudah banyak kasus yang menunjukkan bahwa pengaturan frekuensi di Tanah Air ini tambal sulam dan tidak memiliki visi jangka panjang yang jelas.

Karenanya kisruh penataan frekwensi 3G seharusnya dijadikan momentum bagi pemerintah untuk memberesi peraturan lama yang kurang bervisi ke depan. Dengan refarming, spektrum yang relatif nganggur bisa diefisienkan untuk dikaryakan bagi teknologi masa depan, seperti 4G yang diyakini akan menjadi new engine growth industri selular. Bukan bermaksud untuk mendewa-dewakan sektor telekomunikasi, namun memang perkembangan area ini memang butuh dukungan regulasi yang dinamis, sekaligus visioner.

Apalagi sudah faktual bahwa kontribusi untuk negara dalam bentuk PNBP sangat signifikan. Tambahan pula sumbangan dari pertumbuhan penetrasi broadband sangat menggiurkan. McKinsey (2010) merilis angka tambahan pertumbuhan GDP sebesar 0,5% untuk setiap 10% tambahan penetrasi broadband di sebuah negara.

Memang, tak dapat dipungkiri bahwa liberalisasi telekomunikasi telah menyebabkan frekwensi sebagai sumber daya vital juga telah dikuasai asing. Sebagai contoh, penguasaan kanal 3G oleh operator domestik hanya sebesar 20%, yakni Telkomsel (2 kanal). Selebihnya, dikuasai XL Axiata (Malaysia)- 2 kanal, Indosat (Qatar Telecom) 2 kanal, Tri (Hong Kong) 1 kanal dan Axis (Saudi Telecom) 1 kanal. Padahal, diantara operator asing, hanya XL yang terus memperluas pasar dengan membangun BTS tak hanya di kawasan padat. Selebihnya, Indosat sejak dikuasai Qatar Telecom bahkan nyaris tak terdengar. Hingga wajar saja jika posisinya digeser XL. Begitu pun Axis dan Tri yang lebih suka membangun infrastruktur di inner area saja.

Selain itu, penataan seharusnya juga dibarengi dengan audit spektrum sebelum penambahan frekwensi diberikan sesuai dengan kriteria dan skala prioritas yang jelas, bukan hanya kesediaan dan kemampuan membayar lisensi. Sebab penataan frekwensi sesungguhnya bukan sekedar pembagian jatah semata. Sesuai dengan amanat UUD 1945, sebagai bagian dari sumber daya, frekuensi harus dikelola oleh operator yang benar-benar serius memanfaatkan spektrum untuk kepentingan masyarakat. Artinya,
kanal yang sudah ada seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal oleh satu operator sebelum meminta tambahan. Disisi lain, audit spektrum juga sekaligus dapat menegaskan operator nasional yang harus dilindungi dalam menghadapi kompetisi dengan pemain global.


No comments: