Monday, January 24, 2011
Mandala dan Penyelamatan Jilid II (Bagian 2)
Limbungnya Mandala, tentu menyisakan banyak pertanyaan. Salah satu yang paling krusial adalah, apakah positioning Mandala di bisnis penerbangan domestik, menjadi sumber dari segala persoalan bisnis dan keuangan yang kini telah menjadi bom waktu?
Seperti kita ketahui, sejak diakuisisi oleh Cardig dan Indigo Partner pada 2006, Mandala pada awalnya memproklamirkan diri sebagai maskapai dengan layanan kelas menengah (medium service).
Namun, entah karena pertimbangan pasar, memasuki 2010, Mandala tergoda memasuki segmen low cost carrier. Padahal ini adalah segmen yang keras, karena hampir semua maskapai di Indonesia terjun di kolam yang sama. Di segmen ini, Mandala bertarung dengan banyak pemain, seperti Batavia Air, Sriwijaya Air dan Lion Air yang menjadi market leader. Belum lagi sejumlah pemain asing seperti Air Asia dan Silk Air.
Meski masuk ke segmen low cost carrier (LCC), namun Mandala tetap berkomitmen bahwa keamanan dan kenyamanan tetap menjadi faktor utama dalam bersaing. Pengoperasian pesawat baru yakni Air Bus dan pemanfaatan fasilitas pemeliharaan pesawat milik Singapore Airlines, menujukkan komitmen tersebut. Itu sebabnya, nyaris tak ada insiden berarti menyangkut keselamatan yang menimpa Mandala, sejak maskapai ini diambil alih oleh investor baru dari Kostrad.
Sayangnya, kelebihan tersebut hanya menjadi persepsi yang bagus bagi konsumen, tidak menyangkut kocek perusahaan. Diono Nurjadin, Dirut Mandala, pada akhirnya mengakui perubahan fokus bisnis dari medium service ke low cost berdampak fatal. Kendala paling mendasar adalah dalam penjualan tiket.
Sebagai maskapai berbiaya murah, Mandala sangat bergantung pada penjualan tiket di level agen. Padahal, seharusnya tiket LCC dijual langsung ke calon penumpang atau direct selling. "Penjualan direct selling tidak bisa meningkat meskipun kami telah membuat sistem direct selling yang biayanya mahal", ujar Diono.
Alhasil, penumpang Mandala terus menciut. Pada 2008, penumpang Mandala sempat mencapai 3,5 juta orang. Namun pada 2010, turun menjadi 2,5 juta orang. Selain itu, Diono mengaku, program peremajaan pesawat dari Boeing menjadi Airbus, menyebabkan biaya operasional membumbung tinggi.
Disisi lain, biaya sewa pesawat terbang lebih mahal. "Akibatnya tunggakan ke lessor terus meningkat, sementara jumlah pesawat terus berkurang karena dikembalikan", keluh Diono. Namun ditengah belitan krisis, Diono optimis dapat menggaet investor baru, meski harus berkejaran dengan waktu.
Memang persepsi yang bagus dibenak konsumen dan sumber daya manusia yang telah teruji, membuat Mandala terlalu sayang untuk kolaps. Namun untuk kembali turn around, sepertinya Mandala harus kembali di jalur medium service. Meski posisi ini satu strip dibawah Garuda Indonesia, namun tak banyak maskapai yang merambah segmen ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment