Tuesday, August 23, 2011
Instant Messaging dan Jejaring Sosial, Primadona Baru di Masa Lebaran
Saat Lebaran tiba, tren penggunaan layanan dari para operator, seperti core bisnis dan layanan broadband atau data mampu memberikan lonjakan dua kali lipat atau menembus level dua digit. Ke depan, akses ke berbagai layanan jejaring sosial diprediksi akan menjadi primadona baru, menggantikan voice dan SMS.
Tak dapat dipungkiri bila layanan core bisnis, seperti voice masih merupakan jawara yang memberi kontribusi revenue signifikan di bulan Ramadhan hingga Lebaran dibandingkan hari-hari biasa. Adanya kebutuhan untuk tetap saling berkomunikasi dengan keluarga serta sanak saudara nan jauh di mata lewat tradisi saling memaafkan membuat layanan suara masih menjadi pilihan bagi kebanyakan pelanggan.
Begitupula dengan layanan pesan singkat alias SMS. Layanan yang satu ini memang bisa dibilang paling merakyat. Pasalnya, dengan format yang sangat sederhana, mudah dimengerti dan tarif sangat murah, pelanggan sudah bisa berkirim pesan untuk sekadar membangunkan sahur atau memberikan ucapan selamat berbuka. Trafik layanan SMS dan suara biasanya akan tumbuh pesat mencapai tiga kali lipat menjelang atau saat Lebaran.
Di samping layanan core yang terus menunjukkan “taringnya” ketika bulan Ramadhan hingga Lebaran, layanan broadband atau data sebagai bisnis baru pun tak mau kalah.
Meski era layanan broadband telah mencuat sejak lima tahun silam, tren penggunaannya semakin masif belakangan ini. Pertumbuhan penggunaan tersebut turut didongkrak oleh kehadiran berbagai macam piranti bergerak (ponsel, smartphone, netbook, laptop, modem maupun komputer tablet) yang berjejalan di pasaran dan bisa didapatkan konsumen dengan harga kian terjangkau.
Tengok saja pengalaman Telkomsel. Menurut Manager Data & Broadband Management Telkomsel, Arief Pradetya, tren peningkatan layanan broadband atau data pun masih akan didominasi via handset. “Leader pentas internet di Indonesia adalah melalui handset bukan laptop maupun modem dan justru tren mobile internet akan jauh lebih besar di tahun-tahun mendatang”, jelasnya.
Saat ini, mau tidak mau atau suka tidak suka layanan broadband atau data sedikit banyak menggeser layanan voice dan SMS. Dulu bila kebiasaan orang sahur atau menunggu waktu berbuka dengan memandangi layar kaca televisi sambil asyik bertelpon dan SMS, kini mereka lebih memilih “membunuh” waktu dengan chatting, BBM-an atau update status di Facebook dan Twitter. Saat Lebaran pun, tren yang saat ini berkembang adalah memberikan ucapan selamat melalui social media, chatting dan via BBM.
Peningkatan layanan data tak hanya terjadi pada siang hari. Justru di bulan Ramadhan, trafik akan meningkat pada malam hari. Pelanggan akan kembali asyik memandangi layar ponsel atau laptop untuk akses internet setelah shalat tarawih bahkan menunggu waktu sahur. Kebutuhan akses internet pada malam hari memang tidak hanya terjadi bulan Ramadhan saja, pada hari biasa pun trafik tetap tumbuh meskipun tidak seramai bulan Ramadhan.
Saat Ramadhan dan Lebaran, Arif mengatakan, kecenderungan semua layanan operator akan meningkat, terutama layanan broadband atau data yang tengah hype. “Layanan broadband atau data saat ini memang sedang digandrungi, seperti Facebook, Twitter, dan BlackBerry Massanger (BBM) dan ketika momen Ramadhan dan Lebaran, trafik penggunaan layanan tersebut makin meningkat, sehingga bisa dikatakan saling menguatkan”, paparnya.
Tak dapat dipungkiri, saat ini keberadaan situs pertemanan dan instan messaging bagaikan “virus menular”. Kehadiran situs tersebut dianggap cara efektif untuk berkomunikasi non formal antar sesama teman, kerabat bahkan atasan sekalipun. Bayangkan saja, bila ucapan selamat berpuasa atau lebaran yang biasanya harus dikirimkan satu per satu ke banyak nomor, dengan Facebook atau Twitter, tinggal update status satu kali, komen pun akan berdatangan. Alhasil, lebih praktis, mewakili saat tak bisa bertatap muka serta jauh lebih murah.
Begitupula saat-saat menjelang mudik lebaran yang biasa terjadi pada H-7, layanan internet berbasis social networking dan instant messaging tetap akan menjadi favorit pelanggan. Dimanapun berada, baik di terminal, pelabuhan, bandara bahkan stasiun sekalipun, mereka tak lepas dari genggaman ponsel.
Wednesday, August 10, 2011
Penataan Frekwensi Harusnya Bukan Sekedar Bagi-Bagi Jatah
Kisruh rebutan frekwensi 3G, menunjukkan bahwa frekuensi pada sektor telekomunikasi memang semakin strategis. Sektor telekomunikasi ini berkembang dinamis dengan teknologi-teknologi baru yang implementasinya membutuhkan frekuensi khusus, sementara ketersediaannya minimal. Padahal di sektor lain seperti penyiaran, ketersediaan spektrum frekuensi cukup berlimpah dengan kontribusi revenue bagi negara yang kecil.
Ironisnya, saat ini spektrum sudah habis dibagi rata kepada semua operator tanpa adanya prioritas. Seharusnya diberikan kepada operator yang benar-benar membangun infrastruktur hingga ke seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Telekomunikasi No. 36/1999.
Disisi lain, alokasi spektrum untuk penggunaan broadcasting juga terlalu besar, bahkan mencapai lebih dari 150MHz, sementara Telkomsel yang memiliki pelanggan 105 juta pelanggan hanya 80MHz, XL dengan lebih dari 40 juta pelanggan hanya 40MHz, atau sama dengan milik Natrindo Telepon Seluler (NTS) yang hanya memiliki 10 juta orang. Contoh lain, Indosat sebagai pemegang spektrum terbesar di Indonesia, menguasai 122 MHz. Repotnya, operator itu kini kepemilikannya didominasi Qatar Telecom.
Parahnya lagi, berdasarkan data dari Ditjen Postel, alokasi spektrum untuk telekomunikasi pada 2010 hanya mencapai 585 MHz, termasuk untuk GSM, CDMA, dan trunking (tetapi memberikan PNBP sebesar 90% atau Rp5,13 triliun). Padahal alokasi spektrum untuk televisi swasta, termasuk satelit menguasai hampir 1.100 MHz dengan sumbangan PNBP hanya 0,03%. Ini jelas menunjukkan ketidakefisienan alokasi frekwensi yang ada.
Proporsi alokasi spektrum frekuensi dan kontribusi yang tidak seimbang ini merupakan warisan regulasi di masa lalu. Sudah banyak kasus yang menunjukkan bahwa pengaturan frekuensi di Tanah Air ini tambal sulam dan tidak memiliki visi jangka panjang yang jelas.
Karenanya kisruh penataan frekwensi 3G seharusnya dijadikan momentum bagi pemerintah untuk memberesi peraturan lama yang kurang bervisi ke depan. Dengan refarming, spektrum yang relatif nganggur bisa diefisienkan untuk dikaryakan bagi teknologi masa depan, seperti 4G yang diyakini akan menjadi new engine growth industri selular. Bukan bermaksud untuk mendewa-dewakan sektor telekomunikasi, namun memang perkembangan area ini memang butuh dukungan regulasi yang dinamis, sekaligus visioner.
Apalagi sudah faktual bahwa kontribusi untuk negara dalam bentuk PNBP sangat signifikan. Tambahan pula sumbangan dari pertumbuhan penetrasi broadband sangat menggiurkan. McKinsey (2010) merilis angka tambahan pertumbuhan GDP sebesar 0,5% untuk setiap 10% tambahan penetrasi broadband di sebuah negara.
Memang, tak dapat dipungkiri bahwa liberalisasi telekomunikasi telah menyebabkan frekwensi sebagai sumber daya vital juga telah dikuasai asing. Sebagai contoh, penguasaan kanal 3G oleh operator domestik hanya sebesar 20%, yakni Telkomsel (2 kanal). Selebihnya, dikuasai XL Axiata (Malaysia)- 2 kanal, Indosat (Qatar Telecom) 2 kanal, Tri (Hong Kong) 1 kanal dan Axis (Saudi Telecom) 1 kanal. Padahal, diantara operator asing, hanya XL yang terus memperluas pasar dengan membangun BTS tak hanya di kawasan padat. Selebihnya, Indosat sejak dikuasai Qatar Telecom bahkan nyaris tak terdengar. Hingga wajar saja jika posisinya digeser XL. Begitu pun Axis dan Tri yang lebih suka membangun infrastruktur di inner area saja.
Selain itu, penataan seharusnya juga dibarengi dengan audit spektrum sebelum penambahan frekwensi diberikan sesuai dengan kriteria dan skala prioritas yang jelas, bukan hanya kesediaan dan kemampuan membayar lisensi. Sebab penataan frekwensi sesungguhnya bukan sekedar pembagian jatah semata. Sesuai dengan amanat UUD 1945, sebagai bagian dari sumber daya, frekuensi harus dikelola oleh operator yang benar-benar serius memanfaatkan spektrum untuk kepentingan masyarakat. Artinya,
kanal yang sudah ada seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal oleh satu operator sebelum meminta tambahan. Disisi lain, audit spektrum juga sekaligus dapat menegaskan operator nasional yang harus dilindungi dalam menghadapi kompetisi dengan pemain global.
Subscribe to:
Posts (Atom)